Tuesday, November 11, 2025

NEW

 


Mengungkap pesona Indonesia di masa lampau lewat foto-foto historis kini bukan lagi hal yang mustahil. Meski terkadang tantangannya ada, harta karun visual tersebut ternyata bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja!

Berbagai institusi arsip dan perpustakaan di Belanda membuka pintu lebar-lebar dengan sistem open access. Bagi Anda yang ingin menyelami lebih dalam, tersedia juga akses privat untuk eksplorasi data yang tak terbatas.

1. KITLV - Leiden University Libraries

Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda ini memiliki banyak koleksi data foto tentang Indonesia, hampir tiap daerah ada beberapa dara foto lamanya. Suku pedalaman Mentawai saja ada koleksinya

Perpustakaan Universitas Leiden terdapat bagian yang menyimpan koleksi khusus tentang Asia Tenggara yang tersimpan di lembaga Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) yang berpusat di Leiden. Lembaga ini telah ada sejak tahun 1851 dan membuka perwakilannya di Jakarta pada tahun 1969.

KITLV fokus untuk mengumpulkan informasi dan meneliti mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-bekas koloni Belanda. Dulu lembaga ini berdiri sendiri, sejak 1 Juli 2014 Perpustakaan KITLV di Leiden dan di Jakarta bergabung dengan Perpustakaan Universitas Leiden.


Alamat situsnya https://digitalcollections.universiteitleiden.nl 




2.  Tropenmuseum Amsterdam - NMVW Collection and Library

Tropenmuseum ini salah satu museum etnografi dan antropologi terbesar di Amsterdam yang telah eksis sejak tahun 1864. Museum ini banyak menyimpan koleksi benda-benda sejarah peninggalan bekas kolonial Belanda, termasuk Indonesia.

Ada berbagai lukisan, wayang, alat musik, patung, senjata kuno, manuskrip, artefak tekstil, hingga rempah-rempah Indonesia. Terpenting adalah koleksi data fotonya yang bisa diakses secara digital. Tropenmuseum ini paling banyak memiliki koleksi peninggalan dari Indonesia. Kumparan memberitakan ada 370 ribu koleksi dan 260 ribu foto yang dimiliki Tropenmuseum. 

Sejak 2017, Tropenmuseum bergabung dalam lembaga The National Museum of World Cultures (NMVW) bersama Museum Afrika di Berg en Dal, Museum Volkenkunde di Leiden dan Wereldmuseum di Rotterdam. NMVW memiliki koleksi hampir 450.000 objek, 260.000 foto dan sekitar 350.000 item film dokumenter dan materi video.


Alamat situsnya https://collectie.wereldculturen.nl




3. Rijkmuseum Amsterdam

Rijkmuseum Amsterdam merupakan museum yang paling terkenal dan banyak dikunjungi di Belanda. Rijksmuseum sering berpindah-pindah lokasi mula didirikan di Den Haag pada 9 November 1798 dan pindah ke Amsterdam pada tahun 1808.

Museum nasional Belanda ini menyimpan koleksi seni dan sejarah yang cukup banyak, termasuk di antaranya koleksi data-data foto dari Indonesia. Ada sekitar 1 juta objek yang berasal dari tahun 1200 hingga 2000. Sekitar 8.000 objek saat ini dipajang di Rijkmuseum Amsterdam,


Alamat webnya https://www.rijksmuseum.nl 


4. Collectie Nederland (Koleksi Belanda)

Situs Collectie Nederland ini menjadi wadah bagi 100 museum dan lembaga lainnya di Belanda yang saling terintegrasi dalam satu platform media digital yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat luar. Situs ini merupakan bagian dari Rijksdienst Voor Het Cultureel Erfgoed Ministerie Van Onderwijs Cultuur En Wetenschap. Dalam situs ini menyimpan 5894201 karya seni, monumen, dan benda lainya.

Alamat situsnya https://www.collectienederland.nl/


Dengan transformasi digital yang dijalankan oleh berbagai lembaga arsip dan perpustakaan, proses penelusuran koleksi kini dapat dilakukan dengan tingkat kemudahan yang jauh lebih tinggi. Kunci keberhasilan dalam eksplorasi ini terletak pada ketepatan penggunaan kata kunci. Untuk menelusuri situs asing, disarankan menggunakan sebutan geografis dalam bahasa asing, umumnya dalam bahasa Inggris atau Belanda, guna mengoptimalkan hasil pencarian. Proses ini tentunya memerlukan ketekunan dan kesabaran dalam mengeksplorasi setiap arsip yang tersedia.

Ketika data foto lama yang dicari berhasil ditemukan, seringkali timbul rasa takjub yang mendalam. Potret suasana masa lalu yang terekam ada yang masih menunjukkan kesinambungan dengan kondisi masa kini, namun tak sedikit yang telah mengalami transformasi besar, bahkan telah sirna dan digantikan oleh lanskap yang sama sekali baru.

Bagi para pegiat sejarah, kolektor, peneliti, hingga kalangan mahasiswa, situs-situs arsip ini merupakan sumber daya yang tak ternilai. Eksplorasi yang mendalam tidak hanya memperkaya wawasan historis, tetapi juga memungkinkan kita untuk memetik pelajaran serta nilai-nilai kebijaksanaan dari setiap jejak visual yang ditinggalkan. []

Akses Foto, Dokumen, Manuskrip dan Arsip Masa Lalu Nusantara di Belanda

Read More

Sumber Foto : Aceh; H.C Zentgraff; Penerbit Beuna Jakarta; Cetakan ke-1; 1983.

Sejarah Aceh diwarnai oleh kisah-kisah "perempuan mulia" yang memainkan peran sentral dalam politik dan peperangan. Mereka bukan hanya sekadar pelengkap, tetapi pemimpin sejati—entah sebagai ratu ataupun istri uleebalang yang berpengaruh. Salah satu nama yang paling terkenal adalah Pocut Baren, seorang figur legendaris yang bahkan diakui kehebatannya oleh musuhnya, Bela
nda.

Kisah heroiknya terekam dalam kesaksian H.C. Zentgraaff, seorang mantan serdadu kolonial Belanda yang kemudian menjadi jurnalis. Melalui catatannya, kita diajak untuk mengenal lebih deut sang pemimpin perempuan dari pedalaman Woyla yang tak kenal takut.


Pemimpin dari Pedalaman yang Terpencil

Pocut Baren adalah Uleebalang (Raja Kecil) di Tungkop, sebuah daerah yang menjadi bagian dari Federasi Kawai XVI di hulu Woyla. Pada era 1930-an, daerah ini mungkin sudah bisa dijangkau dengan mobil, namun tiga puluh tahun sebelumnya, Tungkop adalah sebuah kawasan yang sangat terpencil dan terisolasi di balik pegunungan Aceh.

Ia adalah putri dari Teuku Cut Amat, dari keluarga yang telah turun-temurun memegang tampuk kepemimpinan. Setelah suaminya, yang selalu ia ikuti dalam peperangan, meninggal dunia, Pocut Baren-lah yang mengambil alih hak dan tanggung jawab sebagai Uleebalang Keujreun Gume. Baginya, memimpin bukanlah pilihan, melainkan takdir dan kewajiban.




Pejuang Tangguh di Medan Laga

Hidup Pocut Baren diwarnai oleh tahun-tahun peperangan yang silih berganti dengan masa damai yang singkat. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang selalu siap siaga, dikelilingi oleh sekitar tiga puluh pengawal setia. Ciri khasnya adalah sebilah peudeng tajam (sejenis kelewang bengkok) yang selalu menemaninya, menjadi simbol kekuasaan dan ketangguhannya.

Perlawanannya yang gigih membuat pemerintah kolonial Belanda kewalahan. Masa "bermain perang-perangan" yang ia jalani berakhir ketika Marsose Belanda mulai melakukan pembersihan sistematis di Pantai Barat Aceh. Dalam sebuah penyergapan yang dipimpin Letnan Hoogers di Kuala Bhee, Pocut Baren tertembak di bagian kaki.

Luka itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Karena kurangnya perawatan medis yang memadai di hutan, lukanya membusuk dan semangat tempurnya mulai pupus. Akhirnya, ia memilih untuk berdamai. Belanda segera memberikannya perawatan, tetapi infeksi sudah terlalu parah. Kakinya terpaksa diamputasi, sebuah operasi yang berhasil ia lewati dengan tabah.


Transformasi: Dari Musuh Menuju Rekan

Setelah operasi, terjadi perubahan menakjubkan dalam diri Pocut Baren. Dendam kesumatnya terhadap Kompeni berubah menjadi rasa terima kasih. Sebagai perempuan yang jujur dan "jantan", ia tak segan menunjukkan perasaan barunya ini. Kepada Veltman, seorang pejabat Belanda, ia berkata dengan kelugasan khas Aceh, "Kalaulah saya mengenal tuan lebih dahulu, tentulah saya tidak kehilangan kakiku."

Kebijaksanaan dan ketulusannya membuat Veltman menghormatinya. Veltman pun mendukung pengangkatannya kembali secara resmi sebagai Uleebalang Tungkop, mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin perempuan yang disegani, melanjutkan tradisi panjang ratu-ratu Aceh di masa silam.

Sebagai bentuk perhatian, Belanda mengirimkan sebuah kaki kayu dari negeri Belanda untuknya. Dapat dibayangkan betapa bahagianya Pocut Baren ketika pertama kali memakainya. Meski tidak selalu ia kenakan karena terasa menyakiti lututnya, kaki kayu itu menjadi simbol baru baginya—sebuah pengganti yang dianggapnya sebagai kewajiban pihak yang telah menembaknya.

Kaki kayu itu bahkan pernah ia gunakan untuk memukul seorang lelaki di kampungnya yang berperilaku tidak pantas. Kehadirannya yang tiba-tiba di suatu kampung bagaikan "bom yang berbahaya" bagi para pemalas dan penjahat. Ia memastikan rakyatnya mengerjakan sawah dengan baik dan tak segan menghukum siapa pun yang melanggar. Rakyatnya menghormatinya tak kalah dari seorang uleebalang laki-laki.


Warisan dan Akhir Hidup

Di masa tuanya, Pocut Baren menikah lagi dengan seorang lelaki biasa bernama Rasyib, yang kemudian dikenal sebagai Teuku Muda Rasyib. Zentgraaff menggambarkan suaminya sebagai sosok yang sangat tunduk dan patuh, seakan hidup dalam bayang-bayang keperkasaan istrinya.

Pocut Baren meninggal dunia pada 12 Maret 1928. Namanya tetap dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai seorang perempuan Aceh yang paling cakap dan penuh vitalitas di Pantai Barat. Ia meninggalkan warisan keteguhan hati, kepemimpinan yang humanis, dan syair-syair indah yang terus dikenang, mengalir seperti sungai Woyla yang tak pernah berhenti.

Salah satu syair populer terkait tokoh perempuan tersebut:

“Ie Krueng Woya ceukot likat

Engkot jilumpat jisangka ie tuba

Seungap di yub, sengap di rambat

Meuruboh Barat buka suara


Bukon sayang itek di kapai

Jitimoh bulee ka sion sapeue

Bukon sayang biliek kutinggai

Teumpat kutido siang dan malam”


Yang berarti kira-kira :

“Air sungai Woyla keruh pekat

Ikan melompat sangkanya air tuba

Di luar senyap, di bilik pun senyap

Dapatlah kita berkata-kata


Sungguh sayang itik di kapal

Aneka ragam warna bulunya

Sungguh sayang kutinggalkan bilikku

Tempat kutidur siang dan malam

Pocut Baren: Sang Uleebalang Perempuan dari Pedalaman Aceh

Read More

Thursday, October 09, 2025


Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis agama, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya. 


Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi.


Konsep membangun karakter ini harus dimulai sejak dini, tidak akan berdiri kokoh satu negeri tanpa pondasi yang kuat. Kecerdasan, keimanan yang kuat, berakhlak mulia dan kejujuran tidak dapat dicetak dengan instan. Saat sifat dan syarat tersebut mampu dipenuhi oleh seorang pemimpin, tak diragukan kemakmuran akan dicapai. Maka lazim sudah pada abad ke-19, Singapura, Malaysia, Inggris dan Yogyakarta meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin. Di Aceh, tak berlebihan jika disebut sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, layaklah ia menjadi pemimpin yang diagungkan di Asia, bahkan dunia. 


Saat usia muda, kecerdasan sultan telah tumbuh menjadi pemimpin, dipercayakan memimpin sendiri kerajaan Pedir (Pidie), sebagai pintu gerbang kesultanan Aceh dari arah Timur perairan laut Selat Malaka, seorang pemimpin muda dalam lintasan jalur perang dan pemerintahan (hifz). Saat memimpin kesultanan Aceh, ia mengerti kebutuhan kaum tuha, dengan spirit (semangat) jiwa anak muda dalam aspek duniawi, yaitu memadukan spiritual yang seimbang dengan kemajuan, perekonomian dan stabilitas politik (fahm). 


Kemudian, ia mampu membuka jalur bisnis dengan pihak-pihak asing, investasi besar-besaran atas kerjasama dengan negara Eropa, ide dan perhatiannya ia curahkan mengelola SDM dan SDA untuk mensejahterakan rakyat (fikr). Selain membangun infrastruktur, mesjid Baiturrahman salah satunya, keberhasilannya membangun jaringan intelektual dengan dunia Jazirah Arab, dan menjadi pusat intelektual keislaman (Islamic Center) di Asia (iradah). 


Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)


Dan, kejujurannya tak perlu diragukan lagi, ia begitu bijaksana menempatkan delegasinya di wilayah kerajaannya, termasuk menegakkan hukum sama antara rakyat, pejabat dan sahabat keluarganya, karna ia memandang semua sama di depan hukum (nur).


Kitab ini terdiri dari 24 bab. Keterkaitan sufistik dan kepemimpinan terlihat jelas menjadi satu kesatuan diantara bab. Empat bab pertama, mendidik manusia mengenal Tuhannya. Bab V sampai IX tamsil pemimpin yang adil dan yang zalim. Bab X-XIII membicarakan para menteri dan perwakilan rakyat (DPRA, DPRK, SKPA, dll). 


Bab XIV pendidikan anak. Bab XV-XVI sifat dan karakter leadership. Bab XVII tentang Ten Commandments (10 janji pokok) pemimpin, mengingatkan kita kepada peraturan naskah Adat Aceh. Bab XVIII-XIX memuat ilmu kiyāfa, hikmah dan ilmu firasat, yang kini total ditinggalkan di Aceh, setidaknya dalam dunia pendidikan. Bab XXI, 20 syarat non-muslin di negeri syariat Islam, konteks yang hangat dibicarakan di Aceh saat ini, dan negara-negara Islam. 


Bab terakhir, wasiat pengarang kitab kepada 4 sektor penting (main sector) pemerintahan; yaitu, sultan, perwakilan rakyat (DPRA, DPRK dan SKPA), rakyat yang berakal dan beriman dan kepada media yang netral. 


Melihat kuliatas karya Tajus Salatin, seharusnya menjadi bacaan wajib di pendidikan formal atau non-formal, untuk membangun karakter pemimpin yang jujur, idealis, cerdas dan berakhlak mulia. Tentu, lebih baik daripada disuguhkan cerita fiksi Hindu-Budha kepada anak-anak generasi sekarang ini, yang terkadang memiliki unsur panteisme dan monoteisme di dalamnya.


Pastinya, kerinduan rakyat kepada pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang adil, berakhlak mulia, mementingkan kebijakan rakyat, dan bebas dari korupsi. Semua tidak terlepas dari kerinduan historis akan zaman kesultanan Iskandar Muda, hadir kembali ke Aceh. Setidaknya bukan dongeng seperti tuduhan Snouck Hurgronje, saat kita menceritakannya kepada anak cucu kita. Sehingga mengingatkan kita kepada salah satu syair “Buet ureng awai cit ka meutentee, geutanyoe mantong ta rika-rika”, dan ini bukan ilmu retorika untuk membangun Aceh dari sisa-sisa semangat yang belum luntur. []


Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)



Note: Artikel ini telah dipublis di media Serambinews Tgl. 19 Juni 2011.

ASAS PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (2)

Read More

 


Entah sejauh mana kita mengenal naskah Tāj al-Salātin (Tajus Salatin). Manuskrip yang pernah mengharumkan negeri ini di seluruh penjuru dunia, menjadi bacaan wajib para sultan dalam memimpin negerinya, seakan ia menjadi persyaratan awal dalam memimpin dan mensejahterakan rakyatnya. 


Sebagai karya sastra, kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena itu, ia dikenal Mahkota Raja-raja. Bukhari al-Jauhari nama pengarangnya, yang bisa diartikan “Bukhari di pandai emas” atau “Bukhari dari Johor” dinisbat kepada salah satu daerah. 


Walau tidak dicantum tahun dan tempat penulisan, Roorda van Eijisinga peniliti Belanda pada tahun 1827 berhasil merumuskan kode “rahasia’ yang digunakan oleh si pengarang.  Disimpulkan kitab ini selesai ditulis tahun 1012 H (1603 M), di Aceh, sebagai hadiah kepada sultan Alauddin Ri`ayat Syah bergelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). 


Pengaruh gemilang Tajus Salatin bertahan berabad-abad. Raffles misalnya, menyatakan dengan tegas bahwa pada pemerintahan zaman sultan Singapura mengacu kepada asas-asas di dalam Tajus Salatin, sementara Abdullah Munsyi, berusaha mengetahui watak gubernur Inggris itu berdasarkan asas-asas ilmu firasat yang ditemukan dalam kitab ini. Pada abad ke-19, adaptasi-adaptasi masih dibaca di kraton Yogyakarta dan Surakarta dalam versi Jawa disebut Serat Tajus Salatin. 




Dua abad sebelumnya, usaha penerjemahan sudah dilakukan ke bahasa Belanda (Roorda van Eijisinga, 1827), bahasa Prancis (A. Marre, 1878), dan dikaji dan diterjemah dalam bahasa Inggris (E Winstedt, 1920). Namun di negerinya, naskahnya yang semkin langka, sedangkan perhatian dan kajiannya masih belum terjamah. Kitab ini merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai sekarang. 


Sejauh ini, belum diperoleh profil lengkap biografinya, hingga naskah sejarah spektakuler, Bustan al-Salatin pun tidak mengukir namanya. Braginsky menegaskan bahwa Tajus Salatin merupakan karangan asli dari seorang cendekiawan Aceh yang berasal dari Bukhara dan tinggal lama di Aceh. Uraian tentang masalah-masalah yang terkandung didalamnya dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber kitab dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya dalam konteks pada masa itu. 


Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah-masalah politik dan pemerintahan. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya. Sisi lain, era tersebut, Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya bersama proses Islamisasi, beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. 



Dalam kitabnya, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin (sultan, gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa) yang adil dan benar. Sedikitnya ada 5 asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya; 



Pertama, Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai, itu menjadi modal dasar membangun negeri ini. 


Kedua, Fahm, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti kebutuhan rakyat, pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda disetiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya. 


Ketiga, Fikr; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya; seorang pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Saydina Umar r.a menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri, termasuk anggota legislatif dan para pimpinan SKPA di seluruh lini. Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target.


Bersambung...


Note: Artikel telah dipublis di Serambinews Tgl. 19 Juni 2011.


ASAS PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)

Read More

Sunday, January 26, 2025


Secara bahasa volksraad berasal dari bahasa Belanda, yang terdiri atas dua suku kata volks artinya rakyat dan raad artinya dewan, sehingga volksraad berarti dewan rakyat. Volksraad merupakan lembaga parlemen yang berwenang sebagai penasihat gubernur jenderal Hindia Belanda (Gouverneur generaal van Nederlands- Indië). Lembaga tersebut dibentuk atas inisiatif  pimpinan pergerakan pribumi di Hindia Belanda melalui Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia) yang meminta terlibat dalam pengelolaan pemerintahan pemerintahan Hindia Belanda. 

Comite tersebut beranggotakan para wakil dari organisasi Budi Utomo, Central Sarekat Islam (CSI), Regenten Bond (Ikatan Para Bupati), serta perhimpunan dari empat daerah kerajaan, yaitu Narpowandowo (kawasan Susuhunan di Surakarta), Prinsen Bond Mataram (Kawasan Sultan di Yogyakarta), Mangkunegaran (Kadipaten Mangkunegaran),  Abdi Dalem Wargo Pakualam (Kadipaten Pakualaman) (Akira Nagazumi, 1989: 184). Para delegasi tersebut datang ke negeri Belanda dengan maksud menyampaikan tuntutan komite kepada ratu Belanda, Wilhelmina, dan juga kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan, terkait milisi pribumi dan pendirian dewan kolonial.



Melalui proses yang cukup panjang, gubernur jenderal Hindia Belanda  yang saat itu dijabat oleh Mr. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), bersama dengan Menteri Urusan Kolonial Belanda, Thomas Bastiaan Pleyte (1918-1919), memprakarsai berdirinya lembaga legislatif yang bernama “Dewan Kolonial” yang kemudian berubah nama menjadi Volksraad atau Dewan Rakyat. Volksraad dibentuk pada 16 Desember 1916 di Batavia berdasarkan keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië, pasal 53-80 tanggal 16 Desember 1916. Keputusan ini juga diumumkan dalam Staatsblad No. 114 Tahun 1916, dan secara resmi terlaksana pada 1918. Sejak resmi diundangkan, Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum menyurati Menteri Urusan Jajahan, Thomas Bastiaan Pleyte, untuk melaksanakan pemungutan suara pertama kali, menentukan anggota yang menduduki jabatan di volksraad. Terpilihlah Dr. J. C. Koningsberger (1926-1929) sebagai ketua (Helsdingen 1928).

Periode awal pembentukan volksraad pada 1918, susunan anggota volksraad telah termaktub dalam Koninklijk besluit van 30 Maart 1917 No. 69 tertera juga dalam Staatsblad No. 441 yang berisi bahwa volksraad terdiri atas 39 anggota. Dari 39 anggota tersebut, kebijakan pemerintah menentukan 1 orang ketua yang dipilih oleh raja/ratu, 15 dari pribumi, dan 23 dari Belanda dan Timur Asing. 
Jumlah 39 tersebut dipilih dengan alasan untuk dapat memberikan keterwakilan dari masing-masing daerah (gewest) di Hindia Belanda (Hekmeijer 1917: 24). 
Kemudian, aturan dalam anggota volksraad yakni: pertama, ketua  ditunjuk langsung oleh ratu/raja; kedua, anggota diajukan oleh Gubernur Jenderal maupun dipilih dari tiga kelas masyarakat yaitu, masyarakat berbangsa Belanda (Eropa), pribumi, dan Timur Asing. Ketua harus selalu orang Eropa. Sementara untuk anggota terdiri dari 30 orang Belanda, 25 Pribumi, dan 5 dari Timur Asing. Berikut daftar anggota volksraad di kalangan Pribumi yang telah disetujui oleh Gubernur Jenderal.

Dari periode volksraad pertama (1918-1921) bermunculan sejumlah pemimpin politik yang progresif, seperti Cipto Mangunkusumo (Nationaal Indische Partij), H.O.S Cokroaminoto dan Abdul Muis (Sarekat Islam). Selain itu, keanggotaan volksraad tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga Tionghoa, dan Arab, termasukk tokoh dari luar pulau Jawa, yaitu T.T Mohamad Thayeb dari Aceh, J.A. Soselisa dari Ambon, Frits dari Minahasa, dan A.L Waworuntu dari Manado. (Susanto Zuhdi dkk. 2019: 53).

Teuku Tjik' Muhamad Thayéb adalah seorang lulusan Osvia (Oplei- dingsschool voor Indische Ambtenaren = Sekolah Pamong Praja) yang kemudian menjadi ulèebalang Peureulak. Tahun 1918 ia duduk di dalam Volksraad serta aktif di dalam Nationaal Indische Partij (N.I.P). Karena orasinya dan ketegasannya, Teuku Chi' Muhamad Thayéb hanya kira-kira dua tahun saja diperkenankan oleh Pemerintah Hindia Belanda duduk di Volksraad. (Perang Kolonial Belanda di Aceh, 1977; 53)

Meskipun, mereka juga bukan berarti tinggal di tempat asal kelahiran mereka. J.A. Soselisa misalnya, berdomisili di Batavia dan bekerja sebagai kepala Komisi di Departemen Perusahaan Pemerintah, sementara Frits Laoh adalah karyawan KPM yang tinggal di Batavia, kelahiran Minahasa tahun 1888. Di volksraad, Loah menjadi delegasi dari Kieskring X Celebes (Susanto Zuhdi dkk. 2019: 53).



Dewan "Rakyat" Pro Kebijakan Belanda

Kepemimpinan Volksraad didominasi oleh kalangan Belanda atau orang-orang Eropa. Sedangkan masyarakat pribumi keterwakilannya menempati posisi kedua sebelum Timur Asing. Selain itu, anggota volksraad pribumi yang duduk pun merupakan para pamong praja. Oleh karenanya, beberapa sumber mengatakan bahwa volksraad bukanlah parlemen “sungguhan”, namun merupakan salah satu strategi pemerintah untuk bisa melanggengkan penguasaannya terhadap Hindia Belanda, dengan menempatkan beberapa orang pribumi untuk duduk di Parlemen, dan diberikan jabatan. Kebutuhan pemerintah akan masyarakat pribumi yang masuk ke volksraad tidak lebih dari upaya pemerintah untuk memberikan sedikit akses, menyalurkan aspirasi kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat Pribumi, namun segala upaya yang dilakukan oleh Pribumi ujung-ujungnya diputuskan oleh gubernur jenderal sendiri.

Di awal-awal pendiriannya, volksraad memang didesain oleh Pemerintah hanya sebagai dewan penasihat. Hal ini dimaksudkan sebagai langkah strategis Pemerintah dalam perjuangan untuk mendapatkan otonomi Hindia Belanda. Namun, kelahiran volksraad justru menjadi panggung resmi masyarakat pribumi untuk menyuarakan keinginannya, terutama meningkatnya rasa nasionalisme untuk mencapai pemerintahan mandiri (kemerdekaan). Usaha tersebut tercatat dalam sejarah dengan peristiwa pembentukan Fraksi Nasional atau Mosi Thamrin (27 Januari 1930), dan “Petisi Soetardjo” (15 Juli 1936). Terlebih setelah terbitnya Undang-undang Dasar 1922 dan Undang-undang Pemerintah Hindia Belanda 1924 volksraad resmi menjadi lembaga legislatif yang persetujuannya diperlukan untuk seluruh peraturan yang disahkan oleh Gubernur Jenderal. Sehingga secara fungsional, institusi ini lebih berperan sebagai majelis legislatif. 

Selain itu, volksraad ini juga memiliki hak untuk memperbaiki rancangan undang-undang dan memajukan rancangan undang-undang, hak mengajukan petisi kepada raja dan majelis perwakilan tertinggi di Belanda, dan hak untuk menginterpelasi Pemerintah.

Sejak resmi terbentuk, dengan anggota yang sudah terpilih, volksraad mulai menjalankan aktivitasnya. Semua anggota volksraad tersebut menerima remunerasi/gaji dari Gubernur Jenderal Kolonial Belanda, termaktub dalam Staatsblad No. 545 Ordonnantie van 8 September 1917 Kegiatan volksraad diantaranya, melakukan masa sidang dua kali dalam satu tahun yaitu pada 15 Mei, dan hari Selasa ketiga Oktober, dengan jangka waktu sidang empat setengah bulan. Selama masa aktifnya, volksraad telah berhasil mengajukan 6 rancangan undang-undang, tiga diantaranya diterima. 

Volksraad : Dewan Rakyat Ala Belanda

Read More

Saturday, November 30, 2024


Naskah kuno yang telah dialihaksara yang penting bagi peneliti terkaid Jawa adalah "Buku Babad Majapahit", Sudah dilakukan beragam kajian sejak tempo dulu, ini salah satu buku yang langka dan sulit ditemukan, dialih bahasa dari manuskrip Babad Majapahit oleh Rusman Sutiasumarga dengan Rekaan Tembang oleh Kadir Tisna Sujana tahun 1987. Silahkan klik DOWNLOAD





Download Buku Langka "Babad Majapahit"

Read More

Thursday, November 28, 2024


Pascasarjana UIN Ar-Raniry bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, ICAIOS dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan kegiatan diskusi dan talkshow dengan tema “Community Awareness tentang edukasi literasi kebencanaan berbasis pengetahuan lokal di Aceh” dalam rangla peringatan 20 tahun Tsunami Aceh.

Kegiatan tersebut bertempat di aula lantai tiga Pascasarjana UIN AR-Raniry, pada Jumat (15/11/2024). Pada pembukaan kegiatan tersebut juga dilakukan launching buku pedoman tentang kebencanaan yang berjudul “Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan”.
Dr. Fakhriati, MA, Direktur Executive MOST UNESCO BRIN dalam sambutannya mengatakan kegiatan ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan resiko bencana dengan pengetahuan lokal, sehingga budaya dan pengetahuan lokal dapat diberdayakan dengan baik untuk mitigasi bencana.

Mego Pinandito, Deputi Kebijakan Pembangunan BRIN yang turut memberi sambutan mengatakan bahwa 20 tahun tsunami Aceh menjadi refleksi bagi masyarakat Aceh dan Indonesia agar dapat menambil hikmah dan pengajaran dari fenomena tersebut.

Mego juga mengajak masyarakat terutama generasi muda agar dapat memadukan kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan disebaran secara inklusif serta dapat diakses secara luas. Menurut Mego, Aceh memiliki banyak kekayaan lokal yang dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan bencana.

“Kita memiliki kekayaan budaya lokal yang terkait dengan pendahulu kita yang terkait bencana, seperti budaya smong dari Simeulue.”

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Direktur Pascarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Eka Srimulyani, Ph.D, dan dilanjutkan dengan penandatanganan MoA antara Pascarjana UIN Ar-Raniry dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta peluncuran buku “Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan” oleh perwakilan dari Pusat Litbang Lektur, Sugeng Riyanto.

Acara dilanjutkan dengan diskusi bersama para peneliti dan penulis buku yaitu Profesor Eka Srimulyani, Ridwan Bustamam dan Nurmala Hayati. Ketiga pemateri membahas dua buku tentang kebencanaan yang baru diterbitkan, yaitu “Buku Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan” dan “Buku Ajar Tambahan tentang Kebencanaan”.

Prof. Eka Srimulyani, dalam materinya menyampaikan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan cara yang berbeda dalam menghadapi/meng-eksplore bencana. Perbedaan kapasitas yang dimiliki masyarakat dalam menghadapi bencana terlihat saat terjadinya Tsunami 2004, dimana terdapat perbedaan signifikan jumlah korban di kabupaten Simeulu dengan wilayah lain di Aceh yang terdampak.




Di Simeulu hanya menelan 44 korban jiwa, jumlah yang sangat sedikit dibandingkan jumlah di daerah lain seperti Banda Aceh dan Meulaboh yang mencapai ribuan orang. Hal ini menunjukkan adanya kapasitas pengetahuan lokal yang diimplementasikan dengan baik oleh masyarakat Simeulu yaitu melalui tradisi lisan Smong.

Prof. Eka juga mendapati bahwa cara orang-orang Aceh memandang bencana termasuk Tsunami melaui lensa mistisme, teologi dan rasional. Prof. Eka mengutip salah satu idiom yang dimiliki masyarakat Aceh “Adat bak tanyo, hakikat bak Po”. Kalimat tersebut bermakna bahwa kita harus percaya dan taat pada hakikat atau ketetapan dari Allah, termasuk bencana yang diberikan. Ketaatan tersebut menjadi salah satu sumber kekuatan besar masyarakat Aceh.

Sesi siang dilanjutkan dengan kegiatan talkshow kebencanaan yang diisi oleh empat narasumber yaitu Ahmad Nubli, Rickayautul Muslimah dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Fakhriati dari MOST UNESCO BRIN, dan Hermansyah dari Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry.

Para narasumber menyajikan ragam materi menarik, mulai dari literasi bencana masyarakat Aceh yang ditemukan melalui naskah-naskah kuno, integrasi pengetahuan lokal dengan teknologi dalam mitigasi bencaa, hingga potensi wisata edukasi terkait kebencanaan yang dimiliki Aceh.

Kolaborasi Talkshow dan Seminar Edukasi Kebencanaan Berbasis Pengetahuan Lokal.

Read More

Sunday, October 13, 2024


Banda Aceh (Balitbang Diklat)---Digitalisasi manuskrip keagamaan sangat penting sebagai bagian dari upaya pengembangan ekosistem digital di bidang humaniora menghadirkan pembicara dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Eka Srimulyani, MA dan Hermansyah, M.Hum. 

 

Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh Syarifuddin menyambut baik inovasi ini. menurutnya, kegiatan ini bertujuan memperkaya wawasan tentang digitalisasi manuskrip keagamaan di Indonesia.

 

Syarifuddin menyampaikan bahwa selama ini Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry berupaya mengintegrasikan berbagai bidang humaniora, seperti sejarah, filologi, sastra, dan kebudayaan, ke dalam sistem informasi digital yang dapat diakses publik.

 



"Ini adalah langkah besar dalam pelestarian pengetahuan, dan kami berharap kerja sama dengan berbagai pihak dapat mempercepat transformasi ini," ujarnya dalam sosialisasi Sistem Informasi Jaga Warisan Bangsa (SI-JAWARBA) yang diselenggarakan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Balitbang Diklat di Banda Aceh, Kamis (3/10/2024).

 

Acara ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama dalam akses terhadap manuskrip keagamaan di Aceh melalui SI-JAWARBA. "Semoga sistem informasi digital ini bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, khususnya komunitas pernaskahan di Aceh," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Kepala Subbagian Tata Usaha Puslitbang LKKMO Sugeng Riyanto menyatakan bahwa tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya bangsa melalui platform digital SI-JAWARBA. "Kegiatan ini diadakan untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya melestarikan warisan budaya bangsa, yang sekarang dapat kita kelola melalui aplikasi SI-JAWARBA," kata Sugeng.

 

Acara ini dihadiri peserta dari berbagai lembaga, seperti UIN Ar-Raniry, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Universitas Syiah Kuala, Dinas Perpustakaan, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh, Manassa Aceh, Rumoh Manuskrip, BDK Aceh, dan Museum Pedir. (Rois Maulana)

Hermansyah Paparkan Lika-Liku Naskah Kuno di Aceh

Read More

Monday, October 07, 2024


Kodikologi berasal dari kata Latin Codex (bentuk tunggal : bentuk jamak ialah codices) yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah, bukan menjadi kodeks. Dahulu, kata caudex atau codex dalam bahasa Latin menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis; pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex kemudian di dalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Sedangkan Baried menguraikan sebagai berikut: Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan.... Kodikologi mempelajari seluk-beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraaan penulispenulis naskah (Baried, 1983 : 55).

Hermans dan Huisman menjelaskan bahwa istilah kodikologi codicologie diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani. Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal pada tahun 1949, ketika karyanya, Les Manuscrits, diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun tersebut (Hermans dan Huisman dalam Rujiati, 1994 : 2) Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.



Selanjutnya, dikatakannya bahwa tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah itu. Istilah lain yang dapat dipakai di samping istilah naskah ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan. Kata manu berasal dari manus yang berarti tangan dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti menulis. Dalam bahasa-bahasa lain terdapat kata-kata handschrift (Belanda), Handschrift (Jerman), dan manuscrit (Perancis).



Dalam berbagai katalogus, kata manuscript dan manuscrit biasanya disingkat menjadi MS untuk bentuk tunggal dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan handschrift dan handschrifen disingkat menjadi HS dan HSS. Di dalam bahasa Malaysia, perkataan naskah digunakan dengan meluas sebelum perkataan manuskrip. Di dalam bahasa Indonesia, kata naskah jauh lebih banyak dipakai daripada kata manuskrip untuk pengertian codex. Oleh karena kata naskah sudah pendek, sebaiknya kita jangan lagi menyingkat kata ini. Dengan demikian, kodikologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan. Di dalam kehidupan sehari-hari, arti kata naskah dalam bahasa Indonesia, memang bermacam-macam. Biasanya, digabungkan juga dengan kata-kata lain sehingga kita dapatkan sejumlah gabungan kata seperti naskah pidato, naskah undang-undang, naskah perjanjian, dan naskah kerja sama. Dalam hal ini, arti kata naskah telah bergeser pada arti teks.



Di dalam kodikologi atau ilmu pernaskahan --juga di dalam ilmu filologi – kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.

Kodikologi dan Studi Fisik Naskah

Read More

Tuesday, September 24, 2024


Pekerjaan filolog berawal dari pengambilan bahan mentah berupa naskah tulisan tangan/manuskrip yang ingin disunting, lalu menentukan langkah-langkah berikutnya untuk mempersiapkan bahan tersebut. Ia memilih metode tertentu yang sesuai dengan tujuan suntingannya, kemudian menampilkan teks itu dalam bentuk baru dalam edisi cetak agar dapat disebar luaskan di tengah masyarakat.

Menurut Teeuw, tugas peneliti adalah ikut dalam usaha menyebarluaskan peredaran teks di tengah-tengah masyarakat, membantu dalam proses seleksi terhadap naskah, penyunting teks yang baik, menafsirkan, menjelaskan latar belakang sosio-budaya dan sejarah teks yang diterbitkannya (Teuw, 1982 : 30) Harjati Soebadio mengatakan bahwa tugas filolog ialah untuk mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan- kesalahan. Ini artinya bahwa filolog memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan bisa dipertanggungjawabkan sehingga kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat pada aslinya. Naskah yang sebelumnya telah mengalami penyalinan ulang serta sesuai dengan kebudayaan yang memeliharanya sehingga perlu dibersihkan dari tambahan-tambahan yang dialami pada waktu penyalinan itu. Hal ini penting sebab menurut Harjati jika teks telah bersih maka akan terhindar dari interprestasi yang salah (Soebadio dalam Lubis : 1996 : 32) .

Kalaulah demikian, telah jelas bahwa suatu naskah harus diteliti terlebih dahulu secara cermat. Bila teks itu hanya terdapat dalam satu naskah yang lazim disebut naskah tunggal atau condex unicus, maka peneliti mengadakan penelitian secermat mungkin terhadap teks itu. Akan tetapi, bila teks terdapat dalam beberapa naskah dan terdiri atas berbagai varian serta banyak copiannya, maka ia perlu mengadakan perbandingan teks secara sangat teliti. Dengan cara ini dapat diketahui mana naskah yang paling mendekati naskah yang asli, atau teks yang diharapkan oleh pengarangnya. 



Setelah dilakukan perbandingan, baru diadakan kritik teks untuk menjernihkan teks dari kontaminasi atau kesalahan yang terjadi dalam proses penyalinan. Bila terdapat teks yang tertulis dalam salah satu bahasa daerah atau bahasa asing, maka teks harus diterjemahkan. Setelah itu hasil penelitiannya baru dapat dipergunakan untuk bidang-bidang penelitian lain.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih teks ialah keharusan menjelaskan dasar pertimbangan mengapa dipilihnya suatu naskah tertentu untuk suatu edisi. Misalnya apakah karena langka, atau naskah itu yang tertua, atau karena paling lengkap isinya, atau karena penampilannya dan kerapihannya. Seorang filolog harus menentukan pilihan pada metode yang digunakan, apakah itu saduran, terjemahan biasa, membangun temma, mengadakan analisis struktural atau metode yang lain seperti diplomatik edisi atau standar.

Ahli filologi sebaiknya berusaha mengurangi peranannya dalam proses penyalinan ulang suatu teks klasik dan sebisa mungkin menghindar dari upaya-upaya perbaikan yang harus diadakan. Alasannya adalah seorang editor bukanlah guru yang ingin mengoreksi setiap kata yang sesuai dengan kaidah atau seleranya. Filologi teks Melayu dihadapkan pada suatu tradisi yang cukup menyulitkan. Meskipun benar bahwa teks-teks abad ke 17 M dan ke-18 M. Pada umumnya tidak begitu sulit untuk dipahami oleh pembaca modern. Akan tetapi proses transmisi dan penyalinannya berulang kali yang dialami oleh suatu teks berjalan dengan tidak teliti, ditambah lagi kemalasan, kejahilan penyalin, dan kebebasannya dalam melakukan perubahan terhadap teks. Ada kesan seolah-olah mereka mengadakan perubahan semuanya.



Kondisi naskah juga seperti memberi kesempatan pada editor untuk melakukan perubahan terhadap naskah, contohnya Raja Ali Haji, yang pada tahun 1865 M, telah memberi kesempatan bagi siapa saja yang mengkopi/menyalin naskah Tuhfat an Nafis untuk meneruskan karya itu dan menambah hal-hal yang dianggap perlu. Kebebasan yang diberikan oleh pengarang dan campur tangan penyalin atas kemauannya sendiri menyulitkan mencari archetyp, yaitu naskah asli dari pengarang. Meskipun demikian, masih ada naskah-naskah yang ditemukan archetypnya dari naskah-naskah Melayu.

Sebenarnya seorang ahli Filolog dapat saja berbuat agak lebih banyak dari pada hanya sekedar mencari perbedaan yang terdapat di antara varian-varian yang timbul dari hasil penyalinan itu. Misalnya, dengan mengadakan pengelompokan yang sesuai dengan kesamaan dan ciri masing-masing, atau menurut sifat kekerabatan sehingga dapat membangun suatu stemma. 

Russell Jones sebagaimana Kratz dan ahli filologi yang lain mengatakan bahwa adalah penting sekali bagi seorang filolof untuk mengadakan edisi baru berdasarkan satu naskah saja. Tetapi ia harus menyebut deskripsi lengkap untuk semua naskah yang lain dan menjelaskan bacaan yang berbeda dalam catatan kaki, atau dalam kritik aparat. Sebab mungkin saja ada filolog yang ingin meringkas pekerjaannya. Atas dasar inilah ia tidak perlu menyebutkan tentang varian-varian yang lain (Lubis, 1996 : 34).

Tugas Filolog

Read More

Saturday, September 21, 2024


Buku Bung Sultan Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa itu berisi kumpulan esai yang mengemukakan perjalanan mengenai petualangan laku/tirakat dan sejumlah bacaan dan riwayat yang sebagian besar sebagai tetenger dari lelaku priyayi Jawa, seperti tentang perkumpulan trah, gugat batin, menyantuni kelompok palawija, kiprah perempuan Jawa, patriotisme ketika melawan kompeni, dan sebagainya.





Buku setebal 268 halaman ini disusun oleh R.P.A Suryanto Sastroatmodjo yang terdapat 17 tulisan esai yang berkaitan tentang "Jawa". Artikel-artikel tersebut antaranya:
  1. Tetenger, Punjer, dan Panjer
  2. Tapa Wuda Asinjang Rikma
  3. Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan
  4. Sandiwara dan Sambiwara
  5. Jejak-jejak Menuju Cagak
  6. Yang Melahap dan yang Menggilas
  7. Si Cacara yang Tanpa Cela
  8. Ciri-Cara di Tengah Upacara
  9. Tiada yang Hilang di Balik Watugilang
  10. Wara Ratna Sri Pakubuwono IX
  11. Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
  12. Yang Lingsir di Pesisir, yang Semi di Praja Kejawen
  13. Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa
  14. Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh
  15. R.A Kartini dan Kebudayaan
  16. Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi
  17. Malioboro dan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?   


Download buku klik DOWNLOAD

Download Buku "Bung Sultan Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa"

Read More

Thursday, September 12, 2024


Hari demi hari Kumpeni semakin kuat bercokol di tanah Jawa. Semarang telah dikuasai. Sebuah Loji besar dan kuat dibangun. Para serdadu ditempatkan lengkap dengan persenjataan. Para penguasa di Jawa tak lagi leluasa berkuasa, bahkan atas tanah milik mereka sendiri. Semua harus mendapat restu Kumpeni.

Namun tampaknya angin perubahan menghembuskan sebuah harapan. Di Betawi muncul perlawanan orang-orang Cina. Perlawanan itu semakin meluas dan membuat Kumpeni repot. Untuk beberapa waktu konsentrasi Kumpeni terfokus untuk mengatasi pemberontakan orang Cina.


Negeri Kartasura sedikit dapat bernafas lega. Bagaimanapun kesempatan ini harus mereka gunakan dengan baik. Sebuah sikap yang tepat mesti diambil, untuk kesejahteraan negeri yang lebih baik ke depan. Kumpeni dalam keadaan yang lemah. Kesempatan yang bagus untuk menyerang mereka.




Sayangnya, para punggawa Kartasura tak kunjung sepakat memutuskan tindakan apa yang harus diambil. Ki Patih Natakusuma cenderung memihak kepada pemberontak Cina. Adapun Adipati Jayaningrat dan Adipati Cakraningrat lebih memilih berpihak kepada Kumpeni.



Isi buku ini, yaitu: 13. (hlm. 3) Prabu Brawijaya bermusuhan dengan Sunan Giri.; 14. (hlm. 8) Majapahit sirna, berdirinya kerajaan Demak.; 15. (hlm. 15) Pendirian masjid Demak.; 16. (hlm. 20) Sunan Bonang menciptakan pusaka raja-raja Jawa.; 17. (hlm. 26) Lembu Peteng kawin dengan Dewi Nawangsih.; 18. (hlm. 36) Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir lahir.; 19. (hlm. 50) Jaka Tingkir mengabdi di kerajaan Demak.; 20. (hlm. 62) Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir berperang melawan buaya.; 21. (hlm. 68) Pesanggrahan di Prawata geger, karena ada kerbau mengamuk.; 22. (hlm. 73) Ki Ageng Sela ditolak masuk menjadi prajurit tamtama.; 23. (hlm. 76) Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang.

Namun, semua keputusan berada di tangan Sang Raja. Tindakan apa yang akan dipilih Sang Raja? Simak terus dalam Babad Tanah Jawa jilid 3.


Download Buku Babad Tanah Jawi Jilid III "Klik DOWNLOAD"

Download Buku Babad Tanah Jawi Jilid III

Read More

 


Buku Pengantar Teori Filologi ini semula merupakan naskah yang berjudul ''Pengantar Teori Filologi" yang disusun oleh tim dari Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Tahun 1984. 

Tulisan berjudul Pengantar Teori Filologi ini diharapkan dapat memenuhi keperluan sebagai pegangan awal untuk memperoleh gambaran mengenai seluk-beluk filologi atau kajian naskah dan teorinya beserta penerapannya padakarya sastra Nusantara.
 





Perkenalan dengan karya -karya tersebut akan menumbuhkan rasa akrab dengannya. Penanganan naskah-naskah dengan pendekatan dan metode yang tepat akan membuahkan hasil yang memadai, yang menempatkan suatu karya dalam dimensi ruang dan waktu seperti yang diduga diciptakan oleh pengarangnya. 

Analisis fungsi dan amanatkarya-karya itu akan memperkaya kehidupan rohani masyarakat.

BAB I Studi Filologi
BAB II Kedudukan Filologi di antara Ilmu-ilmu Lain
BAB III Sejarah Perkembangan Filologi
BAB IV Teori Filologi dan Penerapannya
BAB V Studi Filologi bagi Pengembangan Kebudayaan 



Download bukunya di sini. "DOWNLOAD/UNDUH
Download bukunya di sini. "DOWNLOAD/UNDUH"

Download Buku Pengantar Teori Filologi

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top