Thursday, October 09, 2025

NEW


Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis agama, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya. 


Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi.


Konsep membangun karakter ini harus dimulai sejak dini, tidak akan berdiri kokoh satu negeri tanpa pondasi yang kuat. Kecerdasan, keimanan yang kuat, berakhlak mulia dan kejujuran tidak dapat dicetak dengan instan. Saat sifat dan syarat tersebut mampu dipenuhi oleh seorang pemimpin, tak diragukan kemakmuran akan dicapai. Maka lazim sudah pada abad ke-19, Singapura, Malaysia, Inggris dan Yogyakarta meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin. Di Aceh, tak berlebihan jika disebut sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, layaklah ia menjadi pemimpin yang diagungkan di Asia, bahkan dunia. 


Saat usia muda, kecerdasan sultan telah tumbuh menjadi pemimpin, dipercayakan memimpin sendiri kerajaan Pedir (Pidie), sebagai pintu gerbang kesultanan Aceh dari arah Timur perairan laut Selat Malaka, seorang pemimpin muda dalam lintasan jalur perang dan pemerintahan (hifz). Saat memimpin kesultanan Aceh, ia mengerti kebutuhan kaum tuha, dengan spirit (semangat) jiwa anak muda dalam aspek duniawi, yaitu memadukan spiritual yang seimbang dengan kemajuan, perekonomian dan stabilitas politik (fahm). 


Kemudian, ia mampu membuka jalur bisnis dengan pihak-pihak asing, investasi besar-besaran atas kerjasama dengan negara Eropa, ide dan perhatiannya ia curahkan mengelola SDM dan SDA untuk mensejahterakan rakyat (fikr). Selain membangun infrastruktur, mesjid Baiturrahman salah satunya, keberhasilannya membangun jaringan intelektual dengan dunia Jazirah Arab, dan menjadi pusat intelektual keislaman (Islamic Center) di Asia (iradah). 


Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)


Dan, kejujurannya tak perlu diragukan lagi, ia begitu bijaksana menempatkan delegasinya di wilayah kerajaannya, termasuk menegakkan hukum sama antara rakyat, pejabat dan sahabat keluarganya, karna ia memandang semua sama di depan hukum (nur).


Kitab ini terdiri dari 24 bab. Keterkaitan sufistik dan kepemimpinan terlihat jelas menjadi satu kesatuan diantara bab. Empat bab pertama, mendidik manusia mengenal Tuhannya. Bab V sampai IX tamsil pemimpin yang adil dan yang zalim. Bab X-XIII membicarakan para menteri dan perwakilan rakyat (DPRA, DPRK, SKPA, dll). 


Bab XIV pendidikan anak. Bab XV-XVI sifat dan karakter leadership. Bab XVII tentang Ten Commandments (10 janji pokok) pemimpin, mengingatkan kita kepada peraturan naskah Adat Aceh. Bab XVIII-XIX memuat ilmu kiyāfa, hikmah dan ilmu firasat, yang kini total ditinggalkan di Aceh, setidaknya dalam dunia pendidikan. Bab XXI, 20 syarat non-muslin di negeri syariat Islam, konteks yang hangat dibicarakan di Aceh saat ini, dan negara-negara Islam. 


Bab terakhir, wasiat pengarang kitab kepada 4 sektor penting (main sector) pemerintahan; yaitu, sultan, perwakilan rakyat (DPRA, DPRK dan SKPA), rakyat yang berakal dan beriman dan kepada media yang netral. 


Melihat kuliatas karya Tajus Salatin, seharusnya menjadi bacaan wajib di pendidikan formal atau non-formal, untuk membangun karakter pemimpin yang jujur, idealis, cerdas dan berakhlak mulia. Tentu, lebih baik daripada disuguhkan cerita fiksi Hindu-Budha kepada anak-anak generasi sekarang ini, yang terkadang memiliki unsur panteisme dan monoteisme di dalamnya.


Pastinya, kerinduan rakyat kepada pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang adil, berakhlak mulia, mementingkan kebijakan rakyat, dan bebas dari korupsi. Semua tidak terlepas dari kerinduan historis akan zaman kesultanan Iskandar Muda, hadir kembali ke Aceh. Setidaknya bukan dongeng seperti tuduhan Snouck Hurgronje, saat kita menceritakannya kepada anak cucu kita. Sehingga mengingatkan kita kepada salah satu syair “Buet ureng awai cit ka meutentee, geutanyoe mantong ta rika-rika”, dan ini bukan ilmu retorika untuk membangun Aceh dari sisa-sisa semangat yang belum luntur. []


Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)



Note: Artikel ini telah dipublis di media Serambinews Tgl. 19 Juni 2011.

ASAS PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (2)

Read More

 


Entah sejauh mana kita mengenal naskah Tāj al-Salātin (Tajus Salatin). Manuskrip yang pernah mengharumkan negeri ini di seluruh penjuru dunia, menjadi bacaan wajib para sultan dalam memimpin negerinya, seakan ia menjadi persyaratan awal dalam memimpin dan mensejahterakan rakyatnya. 


Sebagai karya sastra, kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena itu, ia dikenal Mahkota Raja-raja. Bukhari al-Jauhari nama pengarangnya, yang bisa diartikan “Bukhari di pandai emas” atau “Bukhari dari Johor” dinisbat kepada salah satu daerah. 


Walau tidak dicantum tahun dan tempat penulisan, Roorda van Eijisinga peniliti Belanda pada tahun 1827 berhasil merumuskan kode “rahasia’ yang digunakan oleh si pengarang.  Disimpulkan kitab ini selesai ditulis tahun 1012 H (1603 M), di Aceh, sebagai hadiah kepada sultan Alauddin Ri`ayat Syah bergelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). 


Pengaruh gemilang Tajus Salatin bertahan berabad-abad. Raffles misalnya, menyatakan dengan tegas bahwa pada pemerintahan zaman sultan Singapura mengacu kepada asas-asas di dalam Tajus Salatin, sementara Abdullah Munsyi, berusaha mengetahui watak gubernur Inggris itu berdasarkan asas-asas ilmu firasat yang ditemukan dalam kitab ini. Pada abad ke-19, adaptasi-adaptasi masih dibaca di kraton Yogyakarta dan Surakarta dalam versi Jawa disebut Serat Tajus Salatin. 




Dua abad sebelumnya, usaha penerjemahan sudah dilakukan ke bahasa Belanda (Roorda van Eijisinga, 1827), bahasa Prancis (A. Marre, 1878), dan dikaji dan diterjemah dalam bahasa Inggris (E Winstedt, 1920). Namun di negerinya, naskahnya yang semkin langka, sedangkan perhatian dan kajiannya masih belum terjamah. Kitab ini merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai sekarang. 


Sejauh ini, belum diperoleh profil lengkap biografinya, hingga naskah sejarah spektakuler, Bustan al-Salatin pun tidak mengukir namanya. Braginsky menegaskan bahwa Tajus Salatin merupakan karangan asli dari seorang cendekiawan Aceh yang berasal dari Bukhara dan tinggal lama di Aceh. Uraian tentang masalah-masalah yang terkandung didalamnya dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber kitab dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya dalam konteks pada masa itu. 


Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah-masalah politik dan pemerintahan. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya. Sisi lain, era tersebut, Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya bersama proses Islamisasi, beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. 



Dalam kitabnya, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin (sultan, gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa) yang adil dan benar. Sedikitnya ada 5 asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya; 



Pertama, Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai, itu menjadi modal dasar membangun negeri ini. 


Kedua, Fahm, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti kebutuhan rakyat, pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda disetiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya. 


Ketiga, Fikr; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya; seorang pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Saydina Umar r.a menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri, termasuk anggota legislatif dan para pimpinan SKPA di seluruh lini. Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target.


Bersambung...


Note: Artikel telah dipublis di Serambinews Tgl. 19 Juni 2011.


ASAS PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)

Read More

Sunday, January 26, 2025


Secara bahasa volksraad berasal dari bahasa Belanda, yang terdiri atas dua suku kata volks artinya rakyat dan raad artinya dewan, sehingga volksraad berarti dewan rakyat. Volksraad merupakan lembaga parlemen yang berwenang sebagai penasihat gubernur jenderal Hindia Belanda (Gouverneur generaal van Nederlands- Indië). Lembaga tersebut dibentuk atas inisiatif  pimpinan pergerakan pribumi di Hindia Belanda melalui Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia) yang meminta terlibat dalam pengelolaan pemerintahan pemerintahan Hindia Belanda. 

Comite tersebut beranggotakan para wakil dari organisasi Budi Utomo, Central Sarekat Islam (CSI), Regenten Bond (Ikatan Para Bupati), serta perhimpunan dari empat daerah kerajaan, yaitu Narpowandowo (kawasan Susuhunan di Surakarta), Prinsen Bond Mataram (Kawasan Sultan di Yogyakarta), Mangkunegaran (Kadipaten Mangkunegaran),  Abdi Dalem Wargo Pakualam (Kadipaten Pakualaman) (Akira Nagazumi, 1989: 184). Para delegasi tersebut datang ke negeri Belanda dengan maksud menyampaikan tuntutan komite kepada ratu Belanda, Wilhelmina, dan juga kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan, terkait milisi pribumi dan pendirian dewan kolonial.



Melalui proses yang cukup panjang, gubernur jenderal Hindia Belanda  yang saat itu dijabat oleh Mr. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), bersama dengan Menteri Urusan Kolonial Belanda, Thomas Bastiaan Pleyte (1918-1919), memprakarsai berdirinya lembaga legislatif yang bernama “Dewan Kolonial” yang kemudian berubah nama menjadi Volksraad atau Dewan Rakyat. Volksraad dibentuk pada 16 Desember 1916 di Batavia berdasarkan keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië, pasal 53-80 tanggal 16 Desember 1916. Keputusan ini juga diumumkan dalam Staatsblad No. 114 Tahun 1916, dan secara resmi terlaksana pada 1918. Sejak resmi diundangkan, Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum menyurati Menteri Urusan Jajahan, Thomas Bastiaan Pleyte, untuk melaksanakan pemungutan suara pertama kali, menentukan anggota yang menduduki jabatan di volksraad. Terpilihlah Dr. J. C. Koningsberger (1926-1929) sebagai ketua (Helsdingen 1928).

Periode awal pembentukan volksraad pada 1918, susunan anggota volksraad telah termaktub dalam Koninklijk besluit van 30 Maart 1917 No. 69 tertera juga dalam Staatsblad No. 441 yang berisi bahwa volksraad terdiri atas 39 anggota. Dari 39 anggota tersebut, kebijakan pemerintah menentukan 1 orang ketua yang dipilih oleh raja/ratu, 15 dari pribumi, dan 23 dari Belanda dan Timur Asing. 
Jumlah 39 tersebut dipilih dengan alasan untuk dapat memberikan keterwakilan dari masing-masing daerah (gewest) di Hindia Belanda (Hekmeijer 1917: 24). 
Kemudian, aturan dalam anggota volksraad yakni: pertama, ketua  ditunjuk langsung oleh ratu/raja; kedua, anggota diajukan oleh Gubernur Jenderal maupun dipilih dari tiga kelas masyarakat yaitu, masyarakat berbangsa Belanda (Eropa), pribumi, dan Timur Asing. Ketua harus selalu orang Eropa. Sementara untuk anggota terdiri dari 30 orang Belanda, 25 Pribumi, dan 5 dari Timur Asing. Berikut daftar anggota volksraad di kalangan Pribumi yang telah disetujui oleh Gubernur Jenderal.

Dari periode volksraad pertama (1918-1921) bermunculan sejumlah pemimpin politik yang progresif, seperti Cipto Mangunkusumo (Nationaal Indische Partij), H.O.S Cokroaminoto dan Abdul Muis (Sarekat Islam). Selain itu, keanggotaan volksraad tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga Tionghoa, dan Arab, termasukk tokoh dari luar pulau Jawa, yaitu T.T Mohamad Thayeb dari Aceh, J.A. Soselisa dari Ambon, Frits dari Minahasa, dan A.L Waworuntu dari Manado. (Susanto Zuhdi dkk. 2019: 53).

Teuku Tjik' Muhamad Thayéb adalah seorang lulusan Osvia (Oplei- dingsschool voor Indische Ambtenaren = Sekolah Pamong Praja) yang kemudian menjadi ulèebalang Peureulak. Tahun 1918 ia duduk di dalam Volksraad serta aktif di dalam Nationaal Indische Partij (N.I.P). Karena orasinya dan ketegasannya, Teuku Chi' Muhamad Thayéb hanya kira-kira dua tahun saja diperkenankan oleh Pemerintah Hindia Belanda duduk di Volksraad. (Perang Kolonial Belanda di Aceh, 1977; 53)

Meskipun, mereka juga bukan berarti tinggal di tempat asal kelahiran mereka. J.A. Soselisa misalnya, berdomisili di Batavia dan bekerja sebagai kepala Komisi di Departemen Perusahaan Pemerintah, sementara Frits Laoh adalah karyawan KPM yang tinggal di Batavia, kelahiran Minahasa tahun 1888. Di volksraad, Loah menjadi delegasi dari Kieskring X Celebes (Susanto Zuhdi dkk. 2019: 53).



Dewan "Rakyat" Pro Kebijakan Belanda

Kepemimpinan Volksraad didominasi oleh kalangan Belanda atau orang-orang Eropa. Sedangkan masyarakat pribumi keterwakilannya menempati posisi kedua sebelum Timur Asing. Selain itu, anggota volksraad pribumi yang duduk pun merupakan para pamong praja. Oleh karenanya, beberapa sumber mengatakan bahwa volksraad bukanlah parlemen “sungguhan”, namun merupakan salah satu strategi pemerintah untuk bisa melanggengkan penguasaannya terhadap Hindia Belanda, dengan menempatkan beberapa orang pribumi untuk duduk di Parlemen, dan diberikan jabatan. Kebutuhan pemerintah akan masyarakat pribumi yang masuk ke volksraad tidak lebih dari upaya pemerintah untuk memberikan sedikit akses, menyalurkan aspirasi kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat Pribumi, namun segala upaya yang dilakukan oleh Pribumi ujung-ujungnya diputuskan oleh gubernur jenderal sendiri.

Di awal-awal pendiriannya, volksraad memang didesain oleh Pemerintah hanya sebagai dewan penasihat. Hal ini dimaksudkan sebagai langkah strategis Pemerintah dalam perjuangan untuk mendapatkan otonomi Hindia Belanda. Namun, kelahiran volksraad justru menjadi panggung resmi masyarakat pribumi untuk menyuarakan keinginannya, terutama meningkatnya rasa nasionalisme untuk mencapai pemerintahan mandiri (kemerdekaan). Usaha tersebut tercatat dalam sejarah dengan peristiwa pembentukan Fraksi Nasional atau Mosi Thamrin (27 Januari 1930), dan “Petisi Soetardjo” (15 Juli 1936). Terlebih setelah terbitnya Undang-undang Dasar 1922 dan Undang-undang Pemerintah Hindia Belanda 1924 volksraad resmi menjadi lembaga legislatif yang persetujuannya diperlukan untuk seluruh peraturan yang disahkan oleh Gubernur Jenderal. Sehingga secara fungsional, institusi ini lebih berperan sebagai majelis legislatif. 

Selain itu, volksraad ini juga memiliki hak untuk memperbaiki rancangan undang-undang dan memajukan rancangan undang-undang, hak mengajukan petisi kepada raja dan majelis perwakilan tertinggi di Belanda, dan hak untuk menginterpelasi Pemerintah.

Sejak resmi terbentuk, dengan anggota yang sudah terpilih, volksraad mulai menjalankan aktivitasnya. Semua anggota volksraad tersebut menerima remunerasi/gaji dari Gubernur Jenderal Kolonial Belanda, termaktub dalam Staatsblad No. 545 Ordonnantie van 8 September 1917 Kegiatan volksraad diantaranya, melakukan masa sidang dua kali dalam satu tahun yaitu pada 15 Mei, dan hari Selasa ketiga Oktober, dengan jangka waktu sidang empat setengah bulan. Selama masa aktifnya, volksraad telah berhasil mengajukan 6 rancangan undang-undang, tiga diantaranya diterima. 

Volksraad : Dewan Rakyat Ala Belanda

Read More

Saturday, November 30, 2024


Naskah kuno yang telah dialihaksara yang penting bagi peneliti terkaid Jawa adalah "Buku Babad Majapahit", Sudah dilakukan beragam kajian sejak tempo dulu, ini salah satu buku yang langka dan sulit ditemukan, dialih bahasa dari manuskrip Babad Majapahit oleh Rusman Sutiasumarga dengan Rekaan Tembang oleh Kadir Tisna Sujana tahun 1987. Silahkan klik DOWNLOAD





Download Buku Langka "Babad Majapahit"

Read More

Thursday, November 28, 2024


Pascasarjana UIN Ar-Raniry bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, ICAIOS dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan kegiatan diskusi dan talkshow dengan tema “Community Awareness tentang edukasi literasi kebencanaan berbasis pengetahuan lokal di Aceh” dalam rangla peringatan 20 tahun Tsunami Aceh.

Kegiatan tersebut bertempat di aula lantai tiga Pascasarjana UIN AR-Raniry, pada Jumat (15/11/2024). Pada pembukaan kegiatan tersebut juga dilakukan launching buku pedoman tentang kebencanaan yang berjudul “Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan”.
Dr. Fakhriati, MA, Direktur Executive MOST UNESCO BRIN dalam sambutannya mengatakan kegiatan ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan resiko bencana dengan pengetahuan lokal, sehingga budaya dan pengetahuan lokal dapat diberdayakan dengan baik untuk mitigasi bencana.

Mego Pinandito, Deputi Kebijakan Pembangunan BRIN yang turut memberi sambutan mengatakan bahwa 20 tahun tsunami Aceh menjadi refleksi bagi masyarakat Aceh dan Indonesia agar dapat menambil hikmah dan pengajaran dari fenomena tersebut.

Mego juga mengajak masyarakat terutama generasi muda agar dapat memadukan kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan disebaran secara inklusif serta dapat diakses secara luas. Menurut Mego, Aceh memiliki banyak kekayaan lokal yang dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan bencana.

“Kita memiliki kekayaan budaya lokal yang terkait dengan pendahulu kita yang terkait bencana, seperti budaya smong dari Simeulue.”

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Direktur Pascarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Eka Srimulyani, Ph.D, dan dilanjutkan dengan penandatanganan MoA antara Pascarjana UIN Ar-Raniry dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta peluncuran buku “Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan” oleh perwakilan dari Pusat Litbang Lektur, Sugeng Riyanto.

Acara dilanjutkan dengan diskusi bersama para peneliti dan penulis buku yaitu Profesor Eka Srimulyani, Ridwan Bustamam dan Nurmala Hayati. Ketiga pemateri membahas dua buku tentang kebencanaan yang baru diterbitkan, yaitu “Buku Pegangan Penyuluh Agama tentang Kebencanaan” dan “Buku Ajar Tambahan tentang Kebencanaan”.

Prof. Eka Srimulyani, dalam materinya menyampaikan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan cara yang berbeda dalam menghadapi/meng-eksplore bencana. Perbedaan kapasitas yang dimiliki masyarakat dalam menghadapi bencana terlihat saat terjadinya Tsunami 2004, dimana terdapat perbedaan signifikan jumlah korban di kabupaten Simeulu dengan wilayah lain di Aceh yang terdampak.




Di Simeulu hanya menelan 44 korban jiwa, jumlah yang sangat sedikit dibandingkan jumlah di daerah lain seperti Banda Aceh dan Meulaboh yang mencapai ribuan orang. Hal ini menunjukkan adanya kapasitas pengetahuan lokal yang diimplementasikan dengan baik oleh masyarakat Simeulu yaitu melalui tradisi lisan Smong.

Prof. Eka juga mendapati bahwa cara orang-orang Aceh memandang bencana termasuk Tsunami melaui lensa mistisme, teologi dan rasional. Prof. Eka mengutip salah satu idiom yang dimiliki masyarakat Aceh “Adat bak tanyo, hakikat bak Po”. Kalimat tersebut bermakna bahwa kita harus percaya dan taat pada hakikat atau ketetapan dari Allah, termasuk bencana yang diberikan. Ketaatan tersebut menjadi salah satu sumber kekuatan besar masyarakat Aceh.

Sesi siang dilanjutkan dengan kegiatan talkshow kebencanaan yang diisi oleh empat narasumber yaitu Ahmad Nubli, Rickayautul Muslimah dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Fakhriati dari MOST UNESCO BRIN, dan Hermansyah dari Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry.

Para narasumber menyajikan ragam materi menarik, mulai dari literasi bencana masyarakat Aceh yang ditemukan melalui naskah-naskah kuno, integrasi pengetahuan lokal dengan teknologi dalam mitigasi bencaa, hingga potensi wisata edukasi terkait kebencanaan yang dimiliki Aceh.

Kolaborasi Talkshow dan Seminar Edukasi Kebencanaan Berbasis Pengetahuan Lokal.

Read More

Sunday, October 13, 2024


Banda Aceh (Balitbang Diklat)---Digitalisasi manuskrip keagamaan sangat penting sebagai bagian dari upaya pengembangan ekosistem digital di bidang humaniora menghadirkan pembicara dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Eka Srimulyani, MA dan Hermansyah, M.Hum. 

 

Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh Syarifuddin menyambut baik inovasi ini. menurutnya, kegiatan ini bertujuan memperkaya wawasan tentang digitalisasi manuskrip keagamaan di Indonesia.

 

Syarifuddin menyampaikan bahwa selama ini Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry berupaya mengintegrasikan berbagai bidang humaniora, seperti sejarah, filologi, sastra, dan kebudayaan, ke dalam sistem informasi digital yang dapat diakses publik.

 



"Ini adalah langkah besar dalam pelestarian pengetahuan, dan kami berharap kerja sama dengan berbagai pihak dapat mempercepat transformasi ini," ujarnya dalam sosialisasi Sistem Informasi Jaga Warisan Bangsa (SI-JAWARBA) yang diselenggarakan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Balitbang Diklat di Banda Aceh, Kamis (3/10/2024).

 

Acara ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama dalam akses terhadap manuskrip keagamaan di Aceh melalui SI-JAWARBA. "Semoga sistem informasi digital ini bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, khususnya komunitas pernaskahan di Aceh," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Kepala Subbagian Tata Usaha Puslitbang LKKMO Sugeng Riyanto menyatakan bahwa tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya bangsa melalui platform digital SI-JAWARBA. "Kegiatan ini diadakan untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya melestarikan warisan budaya bangsa, yang sekarang dapat kita kelola melalui aplikasi SI-JAWARBA," kata Sugeng.

 

Acara ini dihadiri peserta dari berbagai lembaga, seperti UIN Ar-Raniry, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Universitas Syiah Kuala, Dinas Perpustakaan, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh, Manassa Aceh, Rumoh Manuskrip, BDK Aceh, dan Museum Pedir. (Rois Maulana)

Hermansyah Paparkan Lika-Liku Naskah Kuno di Aceh

Read More

Monday, October 07, 2024


Kodikologi berasal dari kata Latin Codex (bentuk tunggal : bentuk jamak ialah codices) yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah, bukan menjadi kodeks. Dahulu, kata caudex atau codex dalam bahasa Latin menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis; pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex kemudian di dalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Sedangkan Baried menguraikan sebagai berikut: Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan.... Kodikologi mempelajari seluk-beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraaan penulispenulis naskah (Baried, 1983 : 55).

Hermans dan Huisman menjelaskan bahwa istilah kodikologi codicologie diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani. Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal pada tahun 1949, ketika karyanya, Les Manuscrits, diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun tersebut (Hermans dan Huisman dalam Rujiati, 1994 : 2) Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.



Selanjutnya, dikatakannya bahwa tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah itu. Istilah lain yang dapat dipakai di samping istilah naskah ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan. Kata manu berasal dari manus yang berarti tangan dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti menulis. Dalam bahasa-bahasa lain terdapat kata-kata handschrift (Belanda), Handschrift (Jerman), dan manuscrit (Perancis).



Dalam berbagai katalogus, kata manuscript dan manuscrit biasanya disingkat menjadi MS untuk bentuk tunggal dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan handschrift dan handschrifen disingkat menjadi HS dan HSS. Di dalam bahasa Malaysia, perkataan naskah digunakan dengan meluas sebelum perkataan manuskrip. Di dalam bahasa Indonesia, kata naskah jauh lebih banyak dipakai daripada kata manuskrip untuk pengertian codex. Oleh karena kata naskah sudah pendek, sebaiknya kita jangan lagi menyingkat kata ini. Dengan demikian, kodikologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan. Di dalam kehidupan sehari-hari, arti kata naskah dalam bahasa Indonesia, memang bermacam-macam. Biasanya, digabungkan juga dengan kata-kata lain sehingga kita dapatkan sejumlah gabungan kata seperti naskah pidato, naskah undang-undang, naskah perjanjian, dan naskah kerja sama. Dalam hal ini, arti kata naskah telah bergeser pada arti teks.



Di dalam kodikologi atau ilmu pernaskahan --juga di dalam ilmu filologi – kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.

Kodikologi dan Studi Fisik Naskah

Read More

Tuesday, September 24, 2024


Pekerjaan filolog berawal dari pengambilan bahan mentah berupa naskah tulisan tangan/manuskrip yang ingin disunting, lalu menentukan langkah-langkah berikutnya untuk mempersiapkan bahan tersebut. Ia memilih metode tertentu yang sesuai dengan tujuan suntingannya, kemudian menampilkan teks itu dalam bentuk baru dalam edisi cetak agar dapat disebar luaskan di tengah masyarakat.

Menurut Teeuw, tugas peneliti adalah ikut dalam usaha menyebarluaskan peredaran teks di tengah-tengah masyarakat, membantu dalam proses seleksi terhadap naskah, penyunting teks yang baik, menafsirkan, menjelaskan latar belakang sosio-budaya dan sejarah teks yang diterbitkannya (Teuw, 1982 : 30) Harjati Soebadio mengatakan bahwa tugas filolog ialah untuk mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan- kesalahan. Ini artinya bahwa filolog memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan bisa dipertanggungjawabkan sehingga kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat pada aslinya. Naskah yang sebelumnya telah mengalami penyalinan ulang serta sesuai dengan kebudayaan yang memeliharanya sehingga perlu dibersihkan dari tambahan-tambahan yang dialami pada waktu penyalinan itu. Hal ini penting sebab menurut Harjati jika teks telah bersih maka akan terhindar dari interprestasi yang salah (Soebadio dalam Lubis : 1996 : 32) .

Kalaulah demikian, telah jelas bahwa suatu naskah harus diteliti terlebih dahulu secara cermat. Bila teks itu hanya terdapat dalam satu naskah yang lazim disebut naskah tunggal atau condex unicus, maka peneliti mengadakan penelitian secermat mungkin terhadap teks itu. Akan tetapi, bila teks terdapat dalam beberapa naskah dan terdiri atas berbagai varian serta banyak copiannya, maka ia perlu mengadakan perbandingan teks secara sangat teliti. Dengan cara ini dapat diketahui mana naskah yang paling mendekati naskah yang asli, atau teks yang diharapkan oleh pengarangnya. 



Setelah dilakukan perbandingan, baru diadakan kritik teks untuk menjernihkan teks dari kontaminasi atau kesalahan yang terjadi dalam proses penyalinan. Bila terdapat teks yang tertulis dalam salah satu bahasa daerah atau bahasa asing, maka teks harus diterjemahkan. Setelah itu hasil penelitiannya baru dapat dipergunakan untuk bidang-bidang penelitian lain.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih teks ialah keharusan menjelaskan dasar pertimbangan mengapa dipilihnya suatu naskah tertentu untuk suatu edisi. Misalnya apakah karena langka, atau naskah itu yang tertua, atau karena paling lengkap isinya, atau karena penampilannya dan kerapihannya. Seorang filolog harus menentukan pilihan pada metode yang digunakan, apakah itu saduran, terjemahan biasa, membangun temma, mengadakan analisis struktural atau metode yang lain seperti diplomatik edisi atau standar.

Ahli filologi sebaiknya berusaha mengurangi peranannya dalam proses penyalinan ulang suatu teks klasik dan sebisa mungkin menghindar dari upaya-upaya perbaikan yang harus diadakan. Alasannya adalah seorang editor bukanlah guru yang ingin mengoreksi setiap kata yang sesuai dengan kaidah atau seleranya. Filologi teks Melayu dihadapkan pada suatu tradisi yang cukup menyulitkan. Meskipun benar bahwa teks-teks abad ke 17 M dan ke-18 M. Pada umumnya tidak begitu sulit untuk dipahami oleh pembaca modern. Akan tetapi proses transmisi dan penyalinannya berulang kali yang dialami oleh suatu teks berjalan dengan tidak teliti, ditambah lagi kemalasan, kejahilan penyalin, dan kebebasannya dalam melakukan perubahan terhadap teks. Ada kesan seolah-olah mereka mengadakan perubahan semuanya.



Kondisi naskah juga seperti memberi kesempatan pada editor untuk melakukan perubahan terhadap naskah, contohnya Raja Ali Haji, yang pada tahun 1865 M, telah memberi kesempatan bagi siapa saja yang mengkopi/menyalin naskah Tuhfat an Nafis untuk meneruskan karya itu dan menambah hal-hal yang dianggap perlu. Kebebasan yang diberikan oleh pengarang dan campur tangan penyalin atas kemauannya sendiri menyulitkan mencari archetyp, yaitu naskah asli dari pengarang. Meskipun demikian, masih ada naskah-naskah yang ditemukan archetypnya dari naskah-naskah Melayu.

Sebenarnya seorang ahli Filolog dapat saja berbuat agak lebih banyak dari pada hanya sekedar mencari perbedaan yang terdapat di antara varian-varian yang timbul dari hasil penyalinan itu. Misalnya, dengan mengadakan pengelompokan yang sesuai dengan kesamaan dan ciri masing-masing, atau menurut sifat kekerabatan sehingga dapat membangun suatu stemma. 

Russell Jones sebagaimana Kratz dan ahli filologi yang lain mengatakan bahwa adalah penting sekali bagi seorang filolof untuk mengadakan edisi baru berdasarkan satu naskah saja. Tetapi ia harus menyebut deskripsi lengkap untuk semua naskah yang lain dan menjelaskan bacaan yang berbeda dalam catatan kaki, atau dalam kritik aparat. Sebab mungkin saja ada filolog yang ingin meringkas pekerjaannya. Atas dasar inilah ia tidak perlu menyebutkan tentang varian-varian yang lain (Lubis, 1996 : 34).

Tugas Filolog

Read More

Saturday, September 21, 2024


Buku Bung Sultan Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa itu berisi kumpulan esai yang mengemukakan perjalanan mengenai petualangan laku/tirakat dan sejumlah bacaan dan riwayat yang sebagian besar sebagai tetenger dari lelaku priyayi Jawa, seperti tentang perkumpulan trah, gugat batin, menyantuni kelompok palawija, kiprah perempuan Jawa, patriotisme ketika melawan kompeni, dan sebagainya.





Buku setebal 268 halaman ini disusun oleh R.P.A Suryanto Sastroatmodjo yang terdapat 17 tulisan esai yang berkaitan tentang "Jawa". Artikel-artikel tersebut antaranya:
  1. Tetenger, Punjer, dan Panjer
  2. Tapa Wuda Asinjang Rikma
  3. Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan
  4. Sandiwara dan Sambiwara
  5. Jejak-jejak Menuju Cagak
  6. Yang Melahap dan yang Menggilas
  7. Si Cacara yang Tanpa Cela
  8. Ciri-Cara di Tengah Upacara
  9. Tiada yang Hilang di Balik Watugilang
  10. Wara Ratna Sri Pakubuwono IX
  11. Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
  12. Yang Lingsir di Pesisir, yang Semi di Praja Kejawen
  13. Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa
  14. Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh
  15. R.A Kartini dan Kebudayaan
  16. Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi
  17. Malioboro dan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?   


Download buku klik DOWNLOAD

Download Buku "Bung Sultan Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa"

Read More

Thursday, September 12, 2024


Hari demi hari Kumpeni semakin kuat bercokol di tanah Jawa. Semarang telah dikuasai. Sebuah Loji besar dan kuat dibangun. Para serdadu ditempatkan lengkap dengan persenjataan. Para penguasa di Jawa tak lagi leluasa berkuasa, bahkan atas tanah milik mereka sendiri. Semua harus mendapat restu Kumpeni.

Namun tampaknya angin perubahan menghembuskan sebuah harapan. Di Betawi muncul perlawanan orang-orang Cina. Perlawanan itu semakin meluas dan membuat Kumpeni repot. Untuk beberapa waktu konsentrasi Kumpeni terfokus untuk mengatasi pemberontakan orang Cina.


Negeri Kartasura sedikit dapat bernafas lega. Bagaimanapun kesempatan ini harus mereka gunakan dengan baik. Sebuah sikap yang tepat mesti diambil, untuk kesejahteraan negeri yang lebih baik ke depan. Kumpeni dalam keadaan yang lemah. Kesempatan yang bagus untuk menyerang mereka.




Sayangnya, para punggawa Kartasura tak kunjung sepakat memutuskan tindakan apa yang harus diambil. Ki Patih Natakusuma cenderung memihak kepada pemberontak Cina. Adapun Adipati Jayaningrat dan Adipati Cakraningrat lebih memilih berpihak kepada Kumpeni.



Isi buku ini, yaitu: 13. (hlm. 3) Prabu Brawijaya bermusuhan dengan Sunan Giri.; 14. (hlm. 8) Majapahit sirna, berdirinya kerajaan Demak.; 15. (hlm. 15) Pendirian masjid Demak.; 16. (hlm. 20) Sunan Bonang menciptakan pusaka raja-raja Jawa.; 17. (hlm. 26) Lembu Peteng kawin dengan Dewi Nawangsih.; 18. (hlm. 36) Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir lahir.; 19. (hlm. 50) Jaka Tingkir mengabdi di kerajaan Demak.; 20. (hlm. 62) Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir berperang melawan buaya.; 21. (hlm. 68) Pesanggrahan di Prawata geger, karena ada kerbau mengamuk.; 22. (hlm. 73) Ki Ageng Sela ditolak masuk menjadi prajurit tamtama.; 23. (hlm. 76) Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang.

Namun, semua keputusan berada di tangan Sang Raja. Tindakan apa yang akan dipilih Sang Raja? Simak terus dalam Babad Tanah Jawa jilid 3.


Download Buku Babad Tanah Jawi Jilid III "Klik DOWNLOAD"

Download Buku Babad Tanah Jawi Jilid III

Read More

 


Buku Pengantar Teori Filologi ini semula merupakan naskah yang berjudul ''Pengantar Teori Filologi" yang disusun oleh tim dari Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Tahun 1984. 

Tulisan berjudul Pengantar Teori Filologi ini diharapkan dapat memenuhi keperluan sebagai pegangan awal untuk memperoleh gambaran mengenai seluk-beluk filologi atau kajian naskah dan teorinya beserta penerapannya padakarya sastra Nusantara.
 





Perkenalan dengan karya -karya tersebut akan menumbuhkan rasa akrab dengannya. Penanganan naskah-naskah dengan pendekatan dan metode yang tepat akan membuahkan hasil yang memadai, yang menempatkan suatu karya dalam dimensi ruang dan waktu seperti yang diduga diciptakan oleh pengarangnya. 

Analisis fungsi dan amanatkarya-karya itu akan memperkaya kehidupan rohani masyarakat.

BAB I Studi Filologi
BAB II Kedudukan Filologi di antara Ilmu-ilmu Lain
BAB III Sejarah Perkembangan Filologi
BAB IV Teori Filologi dan Penerapannya
BAB V Studi Filologi bagi Pengembangan Kebudayaan 



Download bukunya di sini. "DOWNLOAD/UNDUH
Download bukunya di sini. "DOWNLOAD/UNDUH"

Download Buku Pengantar Teori Filologi

Read More

Sunday, June 09, 2024


Filolog Aceh Hermansyah M.Th.,  M.Hum menyebutkan, sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M), nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi. “Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya. Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja’,” kata Hermansyah dalam webinar ‘Peran dan Kontribusi Wakaf Orang Aceh di Mekkah’ pada Selasa (27/12/2022), sebagaimana disampaikan dalam siaran pers Asyraf Aceh yang dikirim ke redaksi Serambinews.com, Kamis (29/12/2022). 

Hermansyah juga menyebut, dari nama tersebut dapat disimpulkan bahwa beliau bukan seorang Sayed/Habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW), melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya bernama Buja’.

“Bin Buja’ pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama Al-Asyi yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh,” kata peneliti naskah-naskah kuno tersebut.

Dikatakan, dalam mazhab Syafii sebagai mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja’, mewajibkan pewakaf mencantumkan nama asli.  Karena itulah, nama Habib Bin Buja’ adalah nama nyata dari pewakaf tersebut.

Hermansyah juga menyimpulkan, Haji Habib Bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh yang berbeda. Dia berharap ada penelitian yang lebih komprehensif tentang dua sosok yang berjasa besar untuk Aceh ini.



Sedangkan pembicara lainnya, Dr Mizaj Iskandar LC LL.M mengatakan, sebelumnya sudah ada penelusuran terkait Habib bin Buja’ ini, yang menyimpulkan bahwa sang pewakaf merupakan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kuburan saat ini berada di Pante Sidom, Bireuen. Penelitian itu, antara lain dilakukan oleh Dr Hilmy Bakar dan kawan-kawan. “Apa yang dilakukan Dr Hilmy sangat luar biasa. Tetapi, dalam penelitian selalu ada kebaruan. Ini merupakan hal yang biasa saja dalam sebuah riset. Mungkin nanti juga ada temuan terbaru lagi,” tandas Ketua Yayasan Wakaf Baitul Asyi ini. Pernyataan ini disampaikan Mijaz sekaligus menjawab pertanyaan Hilmy Bakar yang diajukan saat sesi tanya jawab dalam webinar tersebut. 

Baca juga: Butuh tenaga kerja terbaik untuk bisnismu? Cari di sini!

Sebagaimana diketahui, Arab Saudi kala itu di bawah kendali Turki yang bermazhab Hanafi. Maka segala urusan terkait mahkamah kenegaraan harus dalam hukum Hanafi. Tapi itu bukan berarti Habib bin Buja’  ingin mengorbankan mazhab beliau yang Syafi’i.   Karena terbukti, wakaf itu diperuntukkan untuk orang-orang yang bermazhab Syafi’i. “Artinya, nama dalam wakaf itu memang nama beliau asli sesuai tuntutan mazhab Syafi’i,” kata Herman.   

Sedangkan Dr Nazaruddin MA yang juga Rektor IAI Al-Muslim Peusangan mengatakan, boleh jadi  pewakif ingin menyembunyikan identitas asli, biar tidak ria.  Nazaruddin masih meyakini bahwa Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah tokoh yang sama.  Begitupun, Nazaruddin mengaku dirinya bukanlah ahli sejarah. “Penting bagi pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk menelusuri lebih dalam lagi,” katanya.

Webinar tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Asyraf Aceh Darussalam yang dimediatori Masykur SHum yang juga  Direktur Pedir Museum. Webinar ini disiarkan secara langsung di Facebook dan Instagram. 

Ketua Asyraf Aceh Darussalam Sayed Murthada Al-Aydrus menyebutkan, ini merupakan seminar ke IX yang dilakukan lembaga ini dalam beberapa tahun terakhir. Murthada menyebut, Asyraf Aceh akan memperbanyak diskusi-diskusi ilmiah tentang berbagai topik yang menyangkut sejarah Aceh, khususnya berkaitan dengan keluarga para habaib dan peranannya di Serambi Mekkah ini.



Berikut Hasil Seminar Secara Keseluruhan yang berhasil dirangkum panitia: 

1. Sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M) nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah "Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi". Namanya muncul dua kali dalam surat wakaf tersebut. Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya (seorang bergelar haji berasal dari Aceh/Melayu). Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja' (artinya: Habib anak dari Buja').

2. Dari namanya terindikasi bahwa beliau bukan seorang sayed/habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW). Melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya (bin) bernama Buja'. 

3. Bin Buja' pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama "Al-Asyi" yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh.

4. Peneliti menemukan, penulisan kata Buja' dalam dokumen wakaf Baitul Asyi berbeda dengan kata Bugak. Buja' ditulis dengan huruf ba-waw-jim-ain. Sementara Bugak dalam manuskrip ditemukan ditulis dengan huruf ba-waw-kaf-alif-hamzah.

5. Nama Haji Habib bin Buja' ditemukan dalam dua dokumen. Pertama dalam dokumen wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H. Kedua, tertulis kembali dalam dokumen pembaharuan wakaf pada tahun 1991. Ini menandakan nama tersebut memang nama asli dari pewakaf.

6. Dalam mazhab Syafi’i (sebagaimana mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja') mewajibkan wakaf dilakukan dengan nama asli. Bukan dengan nama palsu, nama samaran ataupun lakab lainnya. Apalagi didaftarkan di hadapan qadhi mahkamah syariah Mekkah. Tentu seorang wakif harus mendaftarkan asetnya dengan nama asli (ismu dhahir). Karena itulah nama Haji Habib bin Buja' adalah nama nyata dari pewakaf tersebut. Berbeda halnya dengan sedekah informal yang biasa menggunakan identitas "hamba Allah" atau laqab lainnya untuk menyembunyikan nama asli. Orang Aceh banyak yang memiliki laqab. Tapi juga punya nama asli. Khususnya untuk manuskrip legal, itu digunakan nama aslinya. Teungku Syiah Kuala misalnya, itu laqab dalam tradisi tutur. Tapi dimana-mana dalam berbagai dokumen tertulis nama asli "Abdurrauf".
7. Tidak diketahui secara pasti dimana Haji Habib bin Buja' wafat dan dimakamkan. Peneliti menduga beliau wafat dan dikebumikan di Mekkah. Dalam data pemerintah Arab Saudi memang ditemukan seseorang bernama Ibnul Buja' yang pernah dimakamkan di pekuburan Al-Ma'la di dekat Masjidil Haram Mekkah. Boleh jadi itu adalah Habib bin Buja'. Namun perlu penelitian lebih lanjut.
8. Haji Habib bin Buja' Al-Asyi dan Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh berbeda. Nama Sayyid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sendiri dalam berbagai dokumen sejarah ditulis sebagai Sayed, Teungku Sayed Abdurrahman ibnu Alwi (dok. 27 Safar 1206 H/1791 M), atau langsung disebut sebagai Habib Abdurrahman Al-Habsyi (dok.1877). Tidak ditemukan manuskrip, sarakata ataupun dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi sebagai "Habib Bugak". 
Bahkan sebuah dokumen lainnya menunjukkan jika nama beliau ditulis dalam laqab Peusangan (Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan), bukan dengan laqab Bugak. Juga tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi punya aset wakaf di Mekkah, kecuali menerima sejumlah aset wakaf di wilayah Peusangan dan sekitarnya. Jadi, yang disebut "Habib Bugak" sebagai pewakaf Baitul Asyi bukanlah Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, melainkan sosok lain yaitu Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi.
Begini Tanggapan Peneliti lainnya
Pengasuh Zawiah Almascaty Bugak-Aceh, Dr Hilmy Bakar Almascaty DBA membantah poin-poin hasil seminar seperti ditulis di atas.  Hilmy juga membantah semua pernyataan Filolog Aceh Hermansyah M.TH, M.Hum. 
“Dalil yang disampaikannya sejak bertahun lalu tidak berubah dan tidak ada yang baru. Hal itu wajar, dia sebagai peneliti metode filologi an-sich, padahal penelitian tentang Habib Bugak tidak cukup hanya sekadar metode tersebut,” katanya kepada Serambinews.com, Kamis (29/12/2022). Hilmy mengaku sudah meneliti persoalan ini sejak tahun 2006.
Jawaban lengkap dari pria yang meneliti wakaf Baitul Asyi ini seperti berikut:
“Pada tahun 2006, dua tokoh Aceh yaitu Prof. Alyasa dan Prof. Azman yang merupakan alumni Universitas di Arab, telah menyampaikan terjemahan waqaf dan menyebut pewaqafnya dengan HABIB BUGAK. Sementara Prof. Alyasa sampai dengan tahun 2017 tetap konsisten dengan penyebutan nama HABIB BUGAK.
Hermansyah rupanya ingin mengungguli para profesornya di UIN Ar-Raniry dengan menyebut pewakaf sebagai Habib bin Buja'. Sebagai pengguna bahasa Arab rendahan pun orang akan faham mana transelasi tulisan bahasa Arab atau Melayu. Apakah tulisan Aceh dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu Jawi itu sama. Tentu tidak.
Sebagaimana umum berkembang dalam penelitian tentang Habib Bugak yang penulis catat sejak tahun 2006, ada dua mazhab dalam menilai Habib Bugak. Mazhab yang anggap Habib Bugak (Bahasa Arab: Habib Bin Buja') itu nama asli. Dengan alasan karena nama itu yang tercantum dalam ikrar waqaf di Mekkah tahun 1224 H dan diperbaharui tahun 1991 M.
Menurut pandangan beberapa sejawat peneliti,  Hermansyah adalah peneliti sambilan yang memiliki sumber terbatas dengan metodologi filologis an-sich.  Para narasumber yang lain malah menyerukan diadakannya penelitian mendalam kembali secara menyeluruh menggunakan semua metodelogi penelitian ilmiah. Bahkan bila perlu  lebih jauh dengan penelitian ala spritualism sebagaimana yang dianjurkan Prof. Danah Zohar dari Universitas Harvard Amerika, ataupun metodelogi Logical Empirical Methaphysis yang disampaikan Prof. Alattas dari Malaysia.
Sementara ada pemahaman lagi yang menganggap Habib Bugak sebagai Laqab. Adapun hujjah dari mazhab laqab adalah:
1. Berdasarkan kebiasaan tradisi Aceh yang membiasakan penggunaaan laqab secara umum oleh tokoh. 
2. Kenyataan ini diperkuat dengan tradisi penamaan dalam masyarakat Aceh yang tidak pernah menggunakan nama dengan Habib atau Buja'. Sepanjang penelitian tentang Habib Bugak, tidak pernah ditemukan dalam sejarah Aceh seorang tokoh yang bernama Habib  atau Buja’. 
3. Realitas ini diperkuat dengan ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah, bahwa beliau adalah Mazhab Syafi'i, tetapi kenapa beliau mencatatkan waqafnya dalam Mahkamah Syariah yang hakimnya adalah bermazhab Hanafi. Fakta inilah yang perlu digali. Jawabannya karena dalam mazhab Syafi'i pewakif diwajibkan menyebutkan nama aslinya dalam berwaqaf. Sementara dalam mazhab Hanafi, pewakif dibolehkan menggunakan nama laqab.
4. Wawancara resmi penelitian dengan Syeikh Munir Abdul Ghani  Al Asyi pada tahun 2009 menyebutkan, bahwa Habib Bugak adalah Laqab, bukan nama asli waqif. Bahkan beliau dengan terang menyebut bahwa Habib dalam Ikrar tersebut adalah gelar bagi Sayyid atau keturunan Rasulullah.
5. Sepanjang penelitian di Mekkah, yang telah dilakukan beberapa peneliti atau observasi, tidak dikenal seorangpun bernama Habib bin Bujak. Demikian halnya dalam literatur Aceh. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, seorang yang ternama dan alim dalam berwaqaf tidak memiliki jejak dan tidak tercatat dalam lembaran sejarah, kecuali hanya diikrar waqaf saja. Ini adalah sesuatu hal ganjil yang luar biasa.
Maka berdasarkan fakta dan data di Mekkah tersebut, yang menghasilkan kebuntuan informasi, sebagaimana dinyatakan juga oleh Dr. Mizaj sebagai salah seorang narasumber seminar. Demikian pula kesimpulan penelitian filologis Hermansyah yang sangat miskin data, yang hanya menyimpulkan dari analisis dangkal. Maka perlu dilakukan penelitian tingkat lanjutan menggunakan beberapa metode penelitian tingkat advance yang telah dilakukan para cendekiawan terkemuka. 
Bahkan ada metode tingkat tinggi, sampai pada tingkatan  kita perlu secara ruhaniah meneliti dan berjumpa langsung dengan ruah Habib  Bugak. 
Metode ini pernah dicoba untuk mengungkap beberapa fakta tersembunyi dengan berwasilahkan kepada mereka yang telah mencapai derajat mukasafah dari kalangan para wali Allah.


Note: 

Peneliti Sebut Haji Habib Bin Buja’ Nama Asli Pewakaf Baitul Asyi

Read More

Friday, June 07, 2024



Terjemahan Teks Bahasa Arab ke bahasa Indonesia:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. 

Segala puji bagi Allah, Yang Maha Pemurah lagi Maha Dekat, Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Memperkenankan yang tidak akan rugi (sia-sia) orang-orang yang "berniaga" dengan-Nya. Ia Menjanjikan bagi orang-orang yang bersedekah pahala yang besar, dan Menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik syurga dan kenikmatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya, Mengasihi serta Menganugerahkan kenikmatan dan kemurahan-Nya kepada mereka, serta senantiasa Maha Lembut dan Maha Pemurah terhadap mereka. Ia Mengajukan ancaman bagi orang yang kufur, dan Menjanjikan tambahan nikmat bagi orang yang bersyukur. Ia memberikan keinginan orang yang sabar, dan Menyampaikan cita-cita orang yang menghadap-Nya. Ia Menyelamatkan orang yang menyerahkan diri kepada ketentuan-Nya, dan Memberi keamanan bagi orang yang berlindung kepada-Nya. Ia Memberikan kenikmatan bagi orang yang membersihkan diri dengan banyak bersedekah, dan Mengangkatnya ke setinggi-tinggi derajat. Maka hendaklah setiap hamba berbuat apa saja bentuk kebaikan agar itu menjadi simpanan di sisi Allah, dan Allah niscaya Memberikan kepada pahala dan balasan atas kebaikan tersebut. Allah niscaya membalas kebaikan itu dengan sebaik-baik balasan, yaitu dengan menghimpunkan baginya kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Allah menyebutnya dalam golongan hamba-hamba-Nya yang gemar bersedekah lewat firman-Nya: "Orang-orang yang beriman, dan mereka bertaqwa, maka bagi mereka berita gembira." (Yunus: 63-64)


Kita memuji-Nya atas anugerah-Nya yang melimpah, membentang, panjang lagi sempurna, dan kita mensyukuri-Nya atas kemurahan-Nya yang susul menyusul, mencukupi lagi meliputi. 

Kita bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, Maha Esa lagi tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka, inilah sebagus-bagus hikmah (kebijaksanaan) yang diucapkan lidah, dan disampai seorang manusia kepada manusia lainnya. 

Dan kita bersaksi bahwa penghulu kita Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, yang diutus dari Tihamah yang dipayungi awan. Beliau yang bersabda - dan sabda beliau adalah seutama-utama dan sebenar-benar hiasan bagi perkataan setiap orang yang berbicara: "Setiap hamba berada di bawah naungan sedekahnya pada hari kiamat." 

Adapun kemudian dari itu. Manakala Tuan yang mulia, Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawiy melihat bahwa dunia yang rendah ini adalah negeri kemusnahan, dan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal, dan kesanalah kembali dan berpulang, maka Tuan itu mempersembahkan untuk dirinya sesuatu yang bermanfaat demi mencapai ridha Allah serta mendapatkan pahala-Nya yang besar pada hari di mana Allah niscaya memberikan balasan bagi orang-orang yang bersedekah, dan tidak akn menyia-menyiakan balasan orang-orang yang berbuat baik, dan untuk melaksanakan sabda Penghulu para rasul Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam: "Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah (yang terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya." 

Karena waqaf merupakan sedekah jariah, maka Tuan yang mulia Haji Habib bin Buja' Al-Asyi tersebut telah hadir dalam Majlis Syar'iy di depan hadirat Tuan kita - penghulu para ulama besar, kebanggaan seluruh qadhi dunia, kamus balaghah dan suluh segala pemahaman, pencatat seluruh masalah dan hukum-hukum pada masa ini di Negeri Allah yang haram, seorang yang mengharapkan kelembutan Tuhannya yang tersembunyi, hakim syar'iy dalam mazhab Hanafi, yang meletakkan tulisan dan capnya yang mulia di atas (di kepala lembaran ini), semoga Allah melestarikan keutamaan dan kemegahannya serta meninggikannya - lalu ia mewaqafkan, menahan, menjadikannya di jalan Allah, menyedekahkan, mengekalkan dan mempertegas hal-hal yang akan disebutkan berikut ini, yang semua itu berada dalam kuasa, milik, kewenangan, kepunyaan serta kepemilikannya sampai dengan waktu ia menerbitkan waqaf ini, dan itu atas dasar kuitansi pembelian yang dikeluarkan di hadapan hadirat Tuan kita Hakim Syar'iy yang telah disebutkan di atas. 

Yang saya maksud di sini ialah keseluruhan sebuah rumah besar yang berada di Makkah Al-Musyarrafah di gang Al-Qusyasyiyah, yang meliputi ruang-ruang bangunan di atas dan di bawah, berbagai sarana utama, ruang kantor dan berbagai sarananya, bak air di batas-batas areal tanah serta seluruh sarana pendukungnya, serta hak-hak syar'iy yang membatasinya secara lengkap. 

Areal tanah itu dibatasi empat batas: Sarhah (halaman rumah) Al-Miskiy di timur; tanah sabil di barat, dan di situ pintunya; waqaf Syaikh 'Ali Al-Kharasyi di utara, dan batas akhirnya Sarhah Al-Miskiy. Di situ ada tempat bersama yang ruang atasnya termasuk dalam waqaf ini, sedangkan ruang bawahnya tidak termasuk. Di sebelah selatannya berbatasan dengan kepunyaan ahli waris Sa'id bin Husain 'Aththaf Al-Bunduqjiy dan batas akhirnya kepunyaan ahli waris Yahya bin Fadhil Ahmad Az-Zamzamiy. Dengan batas-batas, hak-hak, ruang-ruang dan halaman-halaman, sarana-sarana utama dan pendukung, aliran-aliran air dan lainnya yang termasuk dan diliputi oleh rumah ini berdasarkan syara', yang semuanya telah diketahui oleh pewaqaf (waqif) sebagai pengetahuan yang syar'iy, yang menjauhkan ketidaktahuan secara syara', semua itu menjadi waqaf yang sah, penahanan (habs: waqaf) yang terang dan terpelihara; tidak boleh dijual, tidak dihibahkan, tidak digadaikan, tidak diwarisi, tidak dimiliki, tidak dipermilikkan, tidak diganti, tidak dialihkan, tidak dibagi, tidak boleh dirusak dengan apapun bentuk perusakan, tapi tetap dijaga sebagaimana aslinya, dengan mengindahkan syarat-syarat yang dijelaskan nantinya, dan dengan memperhatikan pengagungan hak Allah dan keridhaan-Nya. 

Waqaf tersebut tidak dapat dibatalkan oleh karena masa yang telah berjalan lama, tidak dapat dilemahkan oleh karena waktu yang sudah berbeda, bahkan semakin berjalannya waktu, semakin tambah menguatkannya; setiap kali datang masa baru, maka semakin mengekalkannya; dan bertambah lama, bertambah kuat dan kokoh. 

Pewaqaf telah mengadakan waqafnya ini untuk kelompok orang-orang Aceh yang datang dari bumi negeri Aceh dari Jawiy untuk melaksanakan haji (para haji) dan tinggal di Makkah Al-Musyarrafah. 

Jika orang-orang Aceh yang tinggal di Makkah sudah tidak ada lagi dan para jama'ah haji dari Aceh tidak datang lagi, maka diwaqafkan untuk para penuntut ilmu dari Jawiy yang tinggal di Makkah Al-Musyarrafah. 

Jika mereka semua sudah tidak ada lagi dan tidak ada seorang pun lagi, maka diwaqafkan kepada penuntut ilmu dari penduduk Makkah yang bermazhab Syafi'iy. 

Jika semua mereka sudah tidak ada lagi dan tidak seorang pun lagi, maka diwaqafkan untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram.

Pewaqaf - semoga Allah memberikan berbagai kebaikan kepadanya - mensyaratkan dalam waqafnya ini syarat-syarat yang telah ditegaskan untuk dilaksanakan, serta menjadi rujukan dan pedoman: 

(1) Pengelolaan waqaf ini dan hak kuasa atasnya diberikan kepada yang mulia Syaikh Muhammad Shalih bin Almarhum Syaikh 'Abdus Salam Al-Asyi Al-Jawiy, dan pengawas terhadap pengelola (nazhir) dan para pengelola sesudahnya adalah Mufti Syafi'iyyah di Makkah Al-Musyarrafah. 

(2) Pada saat yang mulia Syaikh Muhammad Shalih hendak merantau, atau berwasiat sebelum mati yang memang tidak dapat dihindari, maka hendaklah ia mencari pengelola untuk waqaf ini siapa saja yang ia pilih dan inginkan, dan hendaklah ia mewasiatkan waqaf ini kepada orang itu dan memberikan tugas pengelolaan kepadanya. 

(3) Apabila pengelola telah kembali ke Rahmatu-Llah, dan meninggalkan anak-anak, maka hendaklah pengelolaan waqaf diberikan kepada yang lebih bijak dari anak-anak dan cucu-cucunya, dan demikian seterusnya. 

(4) Jika waqaf kemudian menjadi untuk para penuntut ilmu dari Jawiy, maka pengelolanya adalah orang yang paling alim dan guru mereka. Dan, jika menjadi untuk penuntut ilmu dari penduduk Makkah, maka pengelolaan waqaf dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi'iyyah dan guru bagi mereka. 

(5)Jika waqaf kemudian menjadi untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram, maka pengelolaannya begitu pula, dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi'iyyah. 

(6) Apabila terjadi kehancuran yang merusak waqaf ini, maka pengelola menyewakannya dan segera membangun bagian yang hancur serta apa yang dapat mempertahankan wujud fisiknya. 

(7) Pengelola (nazhir) dapat menempatkan siapa saja yang dikehendaki, disukai, dan dipilihnya dari penerima waqaf. 

Pewaqaf - semoga Allah melimpahkan nikmat kepadanya - telah mengeluarkan waqafnya ini dari kepemilikannya, memutuskannya dari hartanya, menjadikannya sebagai sedekah di jalan Allah, dan haram baginya untuk selamanya, serta diberlakukan hukum yang telah diterangkan di atas terhadap waqaf ini baik pada masa sekarang maupun di masa depan, baik dalam keadaan memungkinkan maupun tidak memungkinkan. Ia telah menarik kuasanya terhadap milikinya itu dan menyerahkan kepada pengelola yang mulia Syaikh Muhammad Shalih untuk menjalankan tugas tersebut sesuai cara yang telah digariskan oleh pewaqaf. 

Menarik kembali waqaf yang telah ditentukan dan ditulis, dan ingin mengembalikannya ke dalam kepemilikannya dengan berpegang kepada pendapat Imam Al-A'zham (Abu Hanifah An-Nu'man-penj.) bahwa pewaqaf dapat menarik kembali waqafnya selama tidak tercatat dan tidak diputuskan oleh hakim syar'iy, adalah hal yang ditentang oleh pengelola yang memegang hak kuasa secara sah dan berlaku berdasarkan pendapat kedua sahabat [Abu Hanifah], maka dalam perkara ini hendaklah hakim syar'iy memperhatikan sengketa di antara keduanya setelah perkara sengketa itu diajukan ke hadapannya, dan hakim cenderung untuk memutuskan keabsahan dan keberlakuan [hak kuasa pengelola] karena dalam putusan demikian terdapat tambahan kebajikan dan kemaslahatan. Maka, hakim memutuskan keabsahan dan keberlakuannya, baik menyangkut hal-hal umum maupun hal-hal khusus, seraya memaklumi perselisihan pendapat di antara tuan-tuan para ulama terdahulu. 

Waqaf ini telah sempurna, berlaku dan dilaksanakan hukumnya, terikat dan ditanggung syarat-syaratnya, telah tetap hukum-hukumnya, serta menjadi sebuah waqaf di antara waqaf-waqaf kaum Muslimin yang dihormati sebagai hak-hak Allah Ta'ala yang kuat serta dipertahankan dengan dengan kekuatan-Nya yang kokoh; haram bagi setiap orang yang percaya kepada Allah dan hari akhirat, dan mengetahui bahwa kepada Tuhannya ia kembali, untuk menggugurkan waqaf ini, merubah, merusak, menelantarkan dan berusaha untuk memusnahkannya, dan haram pula untuk membatalkannya atau membatalkan sebagian darinya baik dengan perintah [pewaqaf?] atau fatwa atau dengan penggelapan [?] atau penipuan yang halus, atau dengan apapun cara perusakan. 

"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:181) 

Perihal yang terjadi ini berlangsung dan ditulis pada 18 dari bulan Rabi'ul Akhir tahun 1224, dan shalawat Allah dan salam-Nya ke atas penghulu kita Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau. 


Disadur terjemahan dengan edit penyesuaian dari website Mapesa

Baca Berita terkait lainnya:

Serambi Indonesia

Modus Aceh

Ikrar al-Haj Habib bin Buja' al-Asyi salah seorang pewakaf Baitul Asyi di Mekkah

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top