Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis agama, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya.
Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi.
Konsep membangun karakter ini harus dimulai sejak dini, tidak akan berdiri kokoh satu negeri tanpa pondasi yang kuat. Kecerdasan, keimanan yang kuat, berakhlak mulia dan kejujuran tidak dapat dicetak dengan instan. Saat sifat dan syarat tersebut mampu dipenuhi oleh seorang pemimpin, tak diragukan kemakmuran akan dicapai. Maka lazim sudah pada abad ke-19, Singapura, Malaysia, Inggris dan Yogyakarta meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin. Di Aceh, tak berlebihan jika disebut sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, layaklah ia menjadi pemimpin yang diagungkan di Asia, bahkan dunia.
Saat usia muda, kecerdasan sultan telah tumbuh menjadi pemimpin, dipercayakan memimpin sendiri kerajaan Pedir (Pidie), sebagai pintu gerbang kesultanan Aceh dari arah Timur perairan laut Selat Malaka, seorang pemimpin muda dalam lintasan jalur perang dan pemerintahan (hifz). Saat memimpin kesultanan Aceh, ia mengerti kebutuhan kaum tuha, dengan spirit (semangat) jiwa anak muda dalam aspek duniawi, yaitu memadukan spiritual yang seimbang dengan kemajuan, perekonomian dan stabilitas politik (fahm).
Kemudian, ia mampu membuka jalur bisnis dengan pihak-pihak asing, investasi besar-besaran atas kerjasama dengan negara Eropa, ide dan perhatiannya ia curahkan mengelola SDM dan SDA untuk mensejahterakan rakyat (fikr). Selain membangun infrastruktur, mesjid Baiturrahman salah satunya, keberhasilannya membangun jaringan intelektual dengan dunia Jazirah Arab, dan menjadi pusat intelektual keislaman (Islamic Center) di Asia (iradah).
Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)
Dan, kejujurannya tak perlu diragukan lagi, ia begitu bijaksana menempatkan delegasinya di wilayah kerajaannya, termasuk menegakkan hukum sama antara rakyat, pejabat dan sahabat keluarganya, karna ia memandang semua sama di depan hukum (nur).
Kitab ini terdiri dari 24 bab. Keterkaitan sufistik dan kepemimpinan terlihat jelas menjadi satu kesatuan diantara bab. Empat bab pertama, mendidik manusia mengenal Tuhannya. Bab V sampai IX tamsil pemimpin yang adil dan yang zalim. Bab X-XIII membicarakan para menteri dan perwakilan rakyat (DPRA, DPRK, SKPA, dll).
Bab XIV pendidikan anak. Bab XV-XVI sifat dan karakter leadership. Bab XVII tentang Ten Commandments (10 janji pokok) pemimpin, mengingatkan kita kepada peraturan naskah Adat Aceh. Bab XVIII-XIX memuat ilmu kiyāfa, hikmah dan ilmu firasat, yang kini total ditinggalkan di Aceh, setidaknya dalam dunia pendidikan. Bab XXI, 20 syarat non-muslin di negeri syariat Islam, konteks yang hangat dibicarakan di Aceh saat ini, dan negara-negara Islam.
Bab terakhir, wasiat pengarang kitab kepada 4 sektor penting (main sector) pemerintahan; yaitu, sultan, perwakilan rakyat (DPRA, DPRK dan SKPA), rakyat yang berakal dan beriman dan kepada media yang netral.
Melihat kuliatas karya Tajus Salatin, seharusnya menjadi bacaan wajib di pendidikan formal atau non-formal, untuk membangun karakter pemimpin yang jujur, idealis, cerdas dan berakhlak mulia. Tentu, lebih baik daripada disuguhkan cerita fiksi Hindu-Budha kepada anak-anak generasi sekarang ini, yang terkadang memiliki unsur panteisme dan monoteisme di dalamnya.
Pastinya, kerinduan rakyat kepada pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang adil, berakhlak mulia, mementingkan kebijakan rakyat, dan bebas dari korupsi. Semua tidak terlepas dari kerinduan historis akan zaman kesultanan Iskandar Muda, hadir kembali ke Aceh. Setidaknya bukan dongeng seperti tuduhan Snouck Hurgronje, saat kita menceritakannya kepada anak cucu kita. Sehingga mengingatkan kita kepada salah satu syair “Buet ureng awai cit ka meutentee, geutanyoe mantong ta rika-rika”, dan ini bukan ilmu retorika untuk membangun Aceh dari sisa-sisa semangat yang belum luntur. []
Baca: ASA PEMIMPIN DALAM TAJUS SALATIN (1)
Note: Artikel ini telah dipublis di media Serambinews Tgl. 19 Juni 2011.
0 comments:
Post a Comment