Tuesday, November 11, 2025

Pocut Baren: Sang Uleebalang Perempuan dari Pedalaman Aceh

Sumber Foto : Aceh; H.C Zentgraff; Penerbit Beuna Jakarta; Cetakan ke-1; 1983.

Sejarah Aceh diwarnai oleh kisah-kisah "perempuan mulia" yang memainkan peran sentral dalam politik dan peperangan. Mereka bukan hanya sekadar pelengkap, tetapi pemimpin sejati—entah sebagai ratu ataupun istri uleebalang yang berpengaruh. Salah satu nama yang paling terkenal adalah Pocut Baren, seorang figur legendaris yang bahkan diakui kehebatannya oleh musuhnya, Bela
nda.

Kisah heroiknya terekam dalam kesaksian H.C. Zentgraaff, seorang mantan serdadu kolonial Belanda yang kemudian menjadi jurnalis. Melalui catatannya, kita diajak untuk mengenal lebih deut sang pemimpin perempuan dari pedalaman Woyla yang tak kenal takut.


Pemimpin dari Pedalaman yang Terpencil

Pocut Baren adalah Uleebalang (Raja Kecil) di Tungkop, sebuah daerah yang menjadi bagian dari Federasi Kawai XVI di hulu Woyla. Pada era 1930-an, daerah ini mungkin sudah bisa dijangkau dengan mobil, namun tiga puluh tahun sebelumnya, Tungkop adalah sebuah kawasan yang sangat terpencil dan terisolasi di balik pegunungan Aceh.

Ia adalah putri dari Teuku Cut Amat, dari keluarga yang telah turun-temurun memegang tampuk kepemimpinan. Setelah suaminya, yang selalu ia ikuti dalam peperangan, meninggal dunia, Pocut Baren-lah yang mengambil alih hak dan tanggung jawab sebagai Uleebalang Keujreun Gume. Baginya, memimpin bukanlah pilihan, melainkan takdir dan kewajiban.




Pejuang Tangguh di Medan Laga

Hidup Pocut Baren diwarnai oleh tahun-tahun peperangan yang silih berganti dengan masa damai yang singkat. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang selalu siap siaga, dikelilingi oleh sekitar tiga puluh pengawal setia. Ciri khasnya adalah sebilah peudeng tajam (sejenis kelewang bengkok) yang selalu menemaninya, menjadi simbol kekuasaan dan ketangguhannya.

Perlawanannya yang gigih membuat pemerintah kolonial Belanda kewalahan. Masa "bermain perang-perangan" yang ia jalani berakhir ketika Marsose Belanda mulai melakukan pembersihan sistematis di Pantai Barat Aceh. Dalam sebuah penyergapan yang dipimpin Letnan Hoogers di Kuala Bhee, Pocut Baren tertembak di bagian kaki.

Luka itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Karena kurangnya perawatan medis yang memadai di hutan, lukanya membusuk dan semangat tempurnya mulai pupus. Akhirnya, ia memilih untuk berdamai. Belanda segera memberikannya perawatan, tetapi infeksi sudah terlalu parah. Kakinya terpaksa diamputasi, sebuah operasi yang berhasil ia lewati dengan tabah.


Transformasi: Dari Musuh Menuju Rekan

Setelah operasi, terjadi perubahan menakjubkan dalam diri Pocut Baren. Dendam kesumatnya terhadap Kompeni berubah menjadi rasa terima kasih. Sebagai perempuan yang jujur dan "jantan", ia tak segan menunjukkan perasaan barunya ini. Kepada Veltman, seorang pejabat Belanda, ia berkata dengan kelugasan khas Aceh, "Kalaulah saya mengenal tuan lebih dahulu, tentulah saya tidak kehilangan kakiku."

Kebijaksanaan dan ketulusannya membuat Veltman menghormatinya. Veltman pun mendukung pengangkatannya kembali secara resmi sebagai Uleebalang Tungkop, mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin perempuan yang disegani, melanjutkan tradisi panjang ratu-ratu Aceh di masa silam.

Sebagai bentuk perhatian, Belanda mengirimkan sebuah kaki kayu dari negeri Belanda untuknya. Dapat dibayangkan betapa bahagianya Pocut Baren ketika pertama kali memakainya. Meski tidak selalu ia kenakan karena terasa menyakiti lututnya, kaki kayu itu menjadi simbol baru baginya—sebuah pengganti yang dianggapnya sebagai kewajiban pihak yang telah menembaknya.

Kaki kayu itu bahkan pernah ia gunakan untuk memukul seorang lelaki di kampungnya yang berperilaku tidak pantas. Kehadirannya yang tiba-tiba di suatu kampung bagaikan "bom yang berbahaya" bagi para pemalas dan penjahat. Ia memastikan rakyatnya mengerjakan sawah dengan baik dan tak segan menghukum siapa pun yang melanggar. Rakyatnya menghormatinya tak kalah dari seorang uleebalang laki-laki.


Warisan dan Akhir Hidup

Di masa tuanya, Pocut Baren menikah lagi dengan seorang lelaki biasa bernama Rasyib, yang kemudian dikenal sebagai Teuku Muda Rasyib. Zentgraaff menggambarkan suaminya sebagai sosok yang sangat tunduk dan patuh, seakan hidup dalam bayang-bayang keperkasaan istrinya.

Pocut Baren meninggal dunia pada 12 Maret 1928. Namanya tetap dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai seorang perempuan Aceh yang paling cakap dan penuh vitalitas di Pantai Barat. Ia meninggalkan warisan keteguhan hati, kepemimpinan yang humanis, dan syair-syair indah yang terus dikenang, mengalir seperti sungai Woyla yang tak pernah berhenti.

Salah satu syair populer terkait tokoh perempuan tersebut:

“Ie Krueng Woya ceukot likat

Engkot jilumpat jisangka ie tuba

Seungap di yub, sengap di rambat

Meuruboh Barat buka suara


Bukon sayang itek di kapai

Jitimoh bulee ka sion sapeue

Bukon sayang biliek kutinggai

Teumpat kutido siang dan malam”


Yang berarti kira-kira :

“Air sungai Woyla keruh pekat

Ikan melompat sangkanya air tuba

Di luar senyap, di bilik pun senyap

Dapatlah kita berkata-kata


Sungguh sayang itik di kapal

Aneka ragam warna bulunya

Sungguh sayang kutinggalkan bilikku

Tempat kutidur siang dan malam

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top