Thursday, June 17, 2010

Sastra Klasik Indatu Orang Aceh

Sastra Aceh telah berkembang seiring zaman perkembangan peradaban dan sejarah dari abad ke abad, dan baru dikenal (disalin) pada abad ke 14, namun sastra lisan telah berkembang sejak Aceh dikenal pada abad ke 9. Jika ditilik perbedaan sejarah sangat jauh jangka panjang antara lisan dan tulisan. Namun,, belum tentu hal tersebut benar, mengingat tidak ada satu sejarapun mencatat perjalanan sastra tersebut secara detail dan rapi, kita hanya dihadapkan pada naskah Manuskrip Sejarah raja-raja Pasai yang menggambarkan keberadaan Kesultanan Pasai.

Bisa disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah pusat kebudayaan Islam sebab dari negeri ujung Sumatera pada awal menyebarkan Islam di seluruh Nusantara, termasu didalamnya Malaysia dan Pathani, paling tidak masih ditemukan di dua negara tersebut karya-karya para ulama-ualam Aceh. Maka tak pelak, jika bumi Seuramoe Mekkah ini banyak mewariskan beragam corak sastra Islami. Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan terhadap sastra Melayu Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang ) sastra klasik (classic literature).

Ciri-ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim (tidak memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.

Dalam ikon puisi lama menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh, dikenal beberapa jenis sastra classic yaitu: narit maja (peribahasa), neurajah (mantra), hiem (teka-teki), dan panton (pantun). Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam sejarah perkembangan sastra Aceh. Untuk lebih jelas ihwal sastra kuno genre puisi ini akan saya bahas secara runtut berikut ini:

1.Narit Maja (Peribahasa)
Dalam tradisi masyarakat Aceh narit maja berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial (control sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral. Dalam narit maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit maja berikut: hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila. Terjemahan bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak senu tentu gila. Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Agar lebih jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam narit maja, baca: Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Narit Maja, oleh: Iskandar (Skripsi mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe) dan Struktur dan Fungsi Narit Maja dalam Masyarakat Jambo Aye Aceh Utara, oleh: Hilmi Wilminar (Skripsi Mahasiswa PBSID, FKIP, Universitas Syiah Kuala) dalam kedua karya ilmiah tersebut membahas dan mengupas secara tuntas tentang narit maja. Razali Cut Lani dalam Kesusastraan Aceh juga telah membahas berbagai hal yang terlibat dalam peribahasa Aceh. Seperti unsur flora dan fauna dalam narit maja, ekonomi, perdagangan, sosial, adat istiadat, moral, keagamaan, kriminalitas, dan hal-hal lainnya secara runtun. Kita ambil salah satunya sebagai contoh perdagangan dalam narit maja. Misalnya terdapat dalam narit maja berikut: tulak tong tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Dalam peribahasa ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang--jual beli--setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja. Bidang kriminalitas yang membawa dampak bagi hajat hidup orang banyak. Masyarakat Aceh sering menyebut narit maja: gop pajoh boh panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari kriminalitas tersebut. Dalam tulisan ringkas ini saya tidak merincikan satu persatu narit maja tersebut, karena itu tugas pribadi anda dirumah (PR).

2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupan jenis sastra tertua setelah narit maja. Jika ada orang yang bertanya siapakah pemilik puisi jenis mantra ini?. Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi penyair genre mantra, karena pada mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk menjinakkan harimau, gajah, tawon, dan lain-lain.

3. Hiem (Teka - Teki)
Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersam sanak keluarga dan kerabat untuk berteka - teki sejenak. Teka - teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga menjadi arena asah otak, karena dalam teka - teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan.

4.Panton (Pantun)
Bagian terakhir dari puisi classic Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-indonesia-an sastra. Cuma dalam tulisan ini saya hanya membicarakan dalam corak sastra ke-Aceh-an. Contoh pantun: limong limong kapai jitamong/ dua go limong kapai jibungka/ nyo hantrok lon cot ngon reunong/ nyan bungong lon pupo geulawa. Arti bebas pantun tersebut adalah lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak bisa saya ambil pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan saya. Pantun perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita idaman. Classic bukan ?. Dari segi umur pemakai terdapat bermacam jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa. Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kaulamuda.
Dalam genre ini saya menambahkan satu lagi dari puisi lama yaitu cae’ atau syair.

5. Cae’ atau syair adalah jenis puisi liris.

Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat), legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman).

1. Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris, karena tipografinya seperti syair dan bersajak. Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Prang Sabi karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Namun dalam tulisan ini saya tidak merujuk kepada ciri umum hikayat. Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa.

2. Legenda adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya). Contoh: legenda Ahmad Rhangmanyang yang menjadi pulau batu di Aceh Besar atau legenda si anak durhaka Malin Kundang di Padang, Sumatera Barat, legenda Nyai Roro Kidul, Gunung Tankupan Perahu, Jaka Tingkir (di Jawa), legenda Paya Terbang, legenda Raja Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi Gayo, Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).

3. Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang. Jikapun melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih dominan. Dalam fabel binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia cerita tepap berjalan sukses. Karena memang demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Sang Kancil dan Harimau, Lutung Kasarung, dan Kera Sakti.

4. Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut kemulut. Secara turun temurun. Jika ada cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun. Melainkan milik semua masyarakat dimana cerita rakyat tersebut berkembang. Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK. Ara. Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh. Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam Bahasa Indonesia. Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini: bak jameun dile, na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh kisah, yang artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top