Tuesday, November 10, 2015

Belanda, Kuburan, dan Aceh

"Muslimin dalam negeri Aceh dengan taufiq Allah Ta‘ālā ji bangkit perang dan hal yang raja2 dan petua2 jabatan. Dan orang yang kaya2 hana ji bangkit perang berdiri ke kepala perang hana malee ji tabek kafir Ulanda (Belanda), masuk ke dalam negeri jiboh nyan jirat2 dalam negeri, habeh jigali batee nisan dum, habeh jiboh pada ateung jalan, ladoem ureng jidrop jiboh lam glap hingga matee. Dum nan perbuatan kafee, pakri hana pikee, pakri hana malee..”
(Artinya: maka dengan Taufiq Allah Ta’ala rakyat muslimin di negeri Aceh bangkit perang beserta raja-raja dan ketua-ketua jabatan. Sedang orang-orang kaya tidak ikut berperang, tunduk kepada kafir Belanda tanpa rasa malu, padahal mereka masuk ke daerah-daerah menghancurkan semua jirat-jirat yang ada, digali semua nisan, dibuang ke jalan-jalan, sebagian lagi orang ditangkap dan dipenjara hingga mati. Sedemkian kejam perbuatan kafir, kenapa tidak berpikir, kenapa tidak malu!!)
Kata-kata di atas dari Syekh Abbas Kutakarang yang hidup sezaman dengan Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman saat mengajak orang Aceh perang melawan penjajah Belanda (1973-1914). Tahun-tahun ini dikenal syahidnya para ulama, umara, dan rakyat Aceh.
Syekh Abbas Kutakarang adalah tokoh multitalenta, tabib dan ulama besar yang mengarang beberapa kitab-kitab yang sangat bermanfaat, langka dan jarang dikuasai oleh tokoh sezamannya di akhir era kesultanan Aceh dan masa penjajahan Belanda.
Benar, ini bukan zamannya penjajah. Tetapi, tulisan ini mengkritisi warisan perilaku kolonial Belanda, yang ternyata secara tidak sadar telah diwarisi hingga kini, yaitu merusak dan menghancurkan nisan-nisan (makam) di Aceh. Bahkan, nisan-nisan yang telah disembunyikan. Dan juga sebaliknya, tulisan ini bukan mengajak pembaca untuk “memuja” kuburan sebab itu pekerjaan syirik.
Namun, beberapa kasus yang mencuat di Aceh, makam-makam ulama, sultan dan tokoh besar masa lalu di Aceh kini terbengkalai, dihancurkan, jadi batu asah, dibongkar untuk bangun toko dan gedung lainnya, bahkan digadai untuk investasi nanggroe, sebut saja kasus makam-makam Lamuri di Lamreh, Pango Deah, Lampulo, dan beberapa daerah lainnya.
Saya menelusuri kenapa warisan-warisan Aceh yang memberi kita banyak kontribusi pengetahuan diabaikan, ternyata ini adalah salah satu cara Belanda untuk menghancurkan jiwa-jiwa orang Aceh, dan memutus mata rantai sejarahnya yang memiliki bukti kehebatan terdahulu, sehingga bukti itu berubah menjadi sebuah dongeng.
Pantas, jika makam para sultan, ulama Aceh, bahkan makam sultan Iskandar Muda pun dihancurkan dan disembunyikan era koloniaslme dengan dibangun gedung Belanda atasnya, supaya orang-orang Aceh tidak tahu akan sejarahnya. Hingga beberapa tahun kemerdekaan Indonesia lokasi makam tersebut ditemukan kembali.
Walau Belanda sudah angkat kaki lebih setengah abad lalu, tabiat itu masih diwarisi, mungkin dari “orang-orang yang tabek keu kafee Ulanda”. Namun yang pasti, fakta sekarang banyak pusara-pusara tersebut dihancurkan demi pembangunan yang modernis bersimbol “madani dan syariat Islam”.
Tentunya ini bukan saja persoalan ekonomis, tetapi pola pikir yang sudah melumat “koloniaslisme” dalam pemangku jabatan yang menjalar ke seluruh masyarakat tanpa kepedulian. Apakah ini zaman “meunyoe ka sapue kheun sapue pakat, lampoeh jrat tapeugala”.

Aceh Masa Depan
Setiap jengkal di Aceh memiliki nilai budaya dan sejarah yang sangat berharga bagi masa depan, menata kembali untuk memberikan sebuah bukti peradaban kepada dunia, sebagaimana dilakukan oleh banyak negara di Eropa, seperti Jerman, Swedia, Belanda pasca perang dunia II, bahkan Turki dan Jepang sekalipun.
Walaupun Negara-negara tersebut dibilang maju dan modern, tetapi masih menjaga baik warisan peradabannya terdahulu sebagai cagar budaya dan menjadi aset pariwisata yang ekonomis dan religious.
Sebenarnya, satu dasawarsa Aceh pasca damai menjadi momen bagi pemerintah bersama masyarakat Aceh berbenah “rumah sendiri”. Rekonstruksi Aceh pasca bencana (alam, konflik/ perang) yang terbilang puluhan (ratusan) tahun harus berkelanjutan dan komprehensif.
Sungguh naif, pembangunan di era modern dibangun di atas kuburan, mengingatkan kita tabiat Wahabi di Arab Saudi dan perilaku penjajah Belanda di Aceh masa lampau.

Jika demikian, lebih baik membangun “rumah baru” di tempat lain untuk pemerataan kesejahteraan di Aceh daripada harus menghancurkan peradaban yang pernah membawa nama harum bangsa. Intinya, merehab “Aceh (rumah) lama” bukan berarti menghancurkan pondasi awal. Bisakah?

http://aceh.tribunnews.com/2015/11/10/belanda-kuburan-dan-aceh

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top