Thursday, October 08, 2015

Abdurrauf Fansuri Ulama Penentram Umat

Kisah pengkafiran antara satu kelompok dengan lainnya di Aceh sudah berawal pada periode Nuruddin Ar-Raniry (1637-1644) di era Sultan Iskandar Tsani (w. 1640), dan terus menggelinding pada awal pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam.
Perbedaan paham tersebut puncaknya pada pembakaran kitab-kitab ajaran Hamzah Fansuri (sekitar tahun 1639) dan berlanjut diskusi ilmiah antara Syekh Saifurrijal dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry di Masjid Raya Baiturrahman.
Alhasil, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba kembali ke tanah kelahiraannya di Ranir, Gujarat, sekitar tahun 1644 Masehi.
Untuk menggantikan posisi jabatan penting yang ditinggalkan Nuruddin Ar-Raniry sebagai Qadhi Malikul Adil dan Syaikhul Islam, maka diangkat Syekh Saifurrijal. Walaupun data ini masih lemah.
Ternyata, persoalan konflik keagamaan belum mereda, hingga periode kepulangan Abdurrauf Fansuri bin Ali (dikenal juga Syiah Kuala) pada tahun 1661 M (1071 H) dari Haramain, setelah 19 tahun menuntut ilmu di sana.
Baru satu tahun berada di Aceh, ia telah dikenal oleh banyak orang dan orang di Kesultanan atas kedalaman ilmunya dan kebijaksanaannya. Di awal eranya, persoalan-persoalan perbedaan paham, konflik keagamaan, hingga masalah takfir (pengkafiran), terutama paham wujudiyah (wahdatul wujud) muncul deras dari masyarakat, hingga “memaksakan” dirinya untuk mengirim sepucuk surat kepada gurunya, Syekh Ibrahim ibn Hasan al-Kurani al-Syahrazuri al-Syahrani al-Kurdi al-Madani al-Syaf i’i (1616-1690) atau lebih dikenal Ibrahim al-Kurani, di Madinah.
Ibrahim al-Kurani pernah menjawab dan menulis beberapa persoalan yang terjadi di Aceh secara khusus, dan Nusantara secara keseluruhan. Salah satunya diberi judul Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi saw.
Kitab Ithaf al-Dhaki merupakan sebuah komentar (syarh) atas kitab lain berjudul al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi saw yang ditulis oleh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanpuri di India (w. 1619), pada tahun 1590, berkaitan dengan doktrin martabat tujuh yang sempat sangat populer di kalangan masyarakat Muslim Aceh dan di dunia Melayu-Indonesia.
Syekh Ibrahim al-Kurani yang telah mengarang 98 kitab terutama dalam bidang tauhid dan tasawuf meminta kepada seluruh “jamaah al-Jawiyyin”, yaitu sebutan kepada kaum muslimin dari wilayah Asia Tenggara (Melayu-Nusantara) untuk tidak mengecap kafir kepada pihak-pihak lain dalam perbedaan mazhab dan paham sufistik. Termasuk persoalan spesifik untuk mengklarifikasi perdebatan dan salah faham atas dokrin wahdat al-wujud yang terjadi di Aceh.
Pemikiran yang baik dengan tujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyyah tersebut, juga terwujud dalam transformasi pemikiran Abdurrauf yang tidak radikal, melainkan santun dan rekonsiliatif, serta pendekatan yang argumentatif terhadap berbagai isu utama dalam pemikiran teologis dan sufistis, ditambah kecenderungan Abdurrauf untuk menampilkan gagasannya dengan tetap mendasarkan pada norma-norma keilmuan, terutama konsep neo-sufisme.
Dalam berbagai karyanya, seperti ‘Umdatul Muhtajin, Tanbih al-Masyi, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, al-Mawahib al-Mustarsilah Abdurrauf telah dengan menunjukkan sikap seorang ulama yang cinta perdamaian dan menjadi “peneduh” bagi seluruh umat beragama.
Abdurrauf yang telah berkontribusi dalam bidang intelektual dan menulis kitab sebanyak 36 buah dalam beragam ilmu, tidak satupun memberikan label “sesat” kepada pihak-pihak yang berbeda dengan pemahamannya.
Ia sangat hati-hati dalam hal pengkafiran tarekat, mazhab dan pendapat lainnya yang tidak sejalan dengannya. Kehati-hatiannya terhadap hal tersebut terbukti sehingga ia mengirim surat kepada gurunya.
Inilah yang membuat ia menjadi Syaikhul Islam selama empat periode di masa Sultanah tanpa ada konflik tanpa ada kepentingan politik.
Kitab [Persoalan Niat dan Takbiratul Ihram dalam Shalat] karangan Abdurrauf Fansuri (Syiah Kuala). Sebagai ulama yang rendah hati ia sebut dirinya "bebal lagi dhaif (lemah) daripada segala yang dhaif (red: teks dalam lingkaran hijau). Padahal kitab ini dikarang sebab perdebatan dua pelajar/santri baru yang mengarah kepada saling pensesatan akibat dangkalnya ilmu mereka. "Sebab itulah kusuratkan segala perkataan yang dalam risalah ini itupun karena kulihat bersalah-salahan dars (teks samping: yakni pendapat) dua orang daripada taulanku yang baharu [baru] talibul ilmi [menuntut ilmu], tetapi bebal mereka itu lagi sangat lalai ia (red: teks dalam persegi hijau)

Begitulah, seorang ulama besar tidak menyombongkan diri dan tidak juga merendahkan orang lain, sekalipun orang tersebut lebih rendah level keilmuannya. Ia tetap menyebut diri seorang yang tidak pintar dan juga seorang yang lemah.
Dalam naskah tersebut di atas, Abdurrauf menjelaskan secara rinci ragam penempatan dan baca niat dalam Takbiratul Ihram sesuai pendapat ulama-ulama dengan merujuk kepada kitab-kitab ulama Arab. Dan kemudian ia merangkumnya dengan membuat chart untuk mudah dipahami oleh (kasus) "dua pelajar/santri" baru.
Sepuluh macam niat bacaan Sembahyang [urutan kesepuluh di halaman berikutnya]

Syaikh Abdurrauf tetap mengembangkan lembaga pendidikan dayah, zawiyah Menara di area pemakaman beliau sekarang, menghidupkan tradisi diskusi ilmiah di setiap meunasah dan mesjid. Pada periode juga penyebaran tarekat sangat pesat ke seluruh wilayah Melayu-Nusantara.
Dari dulu hingga kini, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala adalah simbol perdamaian keagamaan dan sosial budaya masyarakat Aceh dan Melayu-Nusantara.
Ia tokoh utama penyebar tarekat yang sangat popular dan disanjung sebagai orang yang santun dan bijak. Sekali lagi, pesan dari Abdurrauf Syiah Kuala adalah damai.


http://aceh.tribunnews.com/2015/09/30/syiah-kuala-ulama-penentram-umat

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top