Naskah Alfiyyah Koleksi Tarmizi A Hamid, Banda Aceh |
Pada Sabtu malam, bapak Tarmizi mengajak saya untuk mengecek dan "mengacak" naskahnya, ada beberapa naskah yang kami buka, tidak terlalu banyak tapi beragam, salah satunya kitab ini (Alfiyyah), karena naskah ini lengkap dari segi fisiknya, mulai pembukaan (mukaddimah), halaman tengah lengkap, hingga kolofon naskah, yang disalin oleh Abdurrahman pada tanggal 5 Ramadhan (tanpa tahun). Jika diterawang kertas naskah, akan terlihat watermark (cap air) bergambar jangkar laut (anchor) dan tulisan AZULAU, kuat dugaan kertas ini diproduksi oleh Roma sekitar tahun 1640 M.
Keunikan lainnya, tiba-tiba kami menemukan sehelai kertas di dalam naskah, entahlah, mungkin ia bagian dari naskah tersebut yang telah lama terlelap diantara lembaran-lembaran naskah, hanya saja dia bukan bagian dari matan naskah.
Di lembaran tersebut tertanggal 12/4/1951 bahwa "Tgk Brahim (Ibrahim) atau Tgk Samalanga telah meminjamkan salah satu kitab
tafsir dari pemilik kitab Tgk Imum Fakeh dan Tgk Mat Kasim, negeri
Triengdjading (Trieng Gadeng), Pidie, ditulis oleh Djamal". Informasi tersebut
menjadi penting bahwa naskah ini –diantara naskah-naskah lainnya- masih eksis
dan terus dipelajari.
Selain itu, catatan ini juga juga bermakna karena pada tahun tersebut (1951) Aceh bukan lagi sebagai daerah pengembangan dunia intelektual, akan tetapi sudah menjadi bagian dari Sumatera Utara sejak tahun 1950. Sejak itulah, kekecewaan dan benih pemberontakan mulai menggeliat akibat Jakarta (Pusat) tidak bisa berterima kasih kepada Aceh. Dan Pidie menjadi sentral dalam pemberontakan ketidakadilan tersebut.