Tuesday, January 07, 2014

Alfiyyah Ibnu Malik dan Pidie

Naskah Alfiyyah
Koleksi Tarmizi A Hamid, Banda Aceh
Bagi sebagian orang, mungkin mendengar kitab berjudul Alfiyyah sudah umum, bahkan bagi dunia dayah dan pesatren salafi sudah mempelajarinya, sebagai bagian dari ilmu alat dalam pengembangan grammatical bahasa Arab. Tapi bagi saya, ini memiliki keistimewaan tersendiri.

Pada Sabtu malam, bapak Tarmizi mengajak saya untuk mengecek dan "mengacak" naskahnya, ada beberapa naskah yang kami buka, tidak terlalu banyak tapi beragam, salah satunya kitab ini (Alfiyyah), karena naskah ini lengkap dari segi fisiknya, mulai pembukaan (mukaddimah), halaman tengah lengkap, hingga kolofon naskah, yang disalin oleh Abdurrahman pada tanggal 5 Ramadhan (tanpa tahun). Jika diterawang kertas naskah, akan terlihat watermark (cap air) bergambar jangkar laut (anchor) dan tulisan AZULAU, kuat dugaan kertas ini diproduksi oleh Roma sekitar tahun 1640 M.
Keunikan lainnya, tiba-tiba kami menemukan sehelai kertas di dalam naskah, entahlah, mungkin ia bagian dari naskah tersebut yang telah lama terlelap diantara lembaran-lembaran naskah, hanya saja dia bukan bagian dari matan naskah.


Di lembaran tersebut tertanggal 12/4/1951 bahwa "Tgk Brahim (Ibrahim) atau Tgk Samalanga telah meminjamkan salah satu kitab tafsir dari pemilik kitab Tgk Imum Fakeh dan Tgk Mat Kasim, negeri Triengdjading (Trieng Gadeng), Pidie, ditulis oleh Djamal". Informasi tersebut menjadi penting bahwa naskah ini –diantara naskah-naskah lainnya- masih eksis dan terus dipelajari.

Selain itu, catatan ini juga juga bermakna karena pada tahun tersebut (1951) Aceh bukan lagi sebagai daerah pengembangan dunia intelektual, akan tetapi sudah menjadi bagian dari Sumatera Utara sejak tahun 1950. Sejak itulah, kekecewaan dan benih pemberontakan mulai menggeliat akibat Jakarta (Pusat) tidak bisa berterima kasih kepada Aceh. Dan Pidie menjadi sentral dalam pemberontakan ketidakadilan tersebut. 


Persoalan Aceh muncul setelah dileburkan ke dalam provinsi Sumatera Utara. Adanya ketidak adilan dan tidak adanya rasa balas budi oleh Jakarta juga berdampak pada roda perekonomian daerah Aceh. Melalui keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat, Mr. Syafruddin Prawiranegara, pada tanggal 26 Maret 1950, bernomor 53810/UU tentang tata aturan nilai tukar mata uang RIS dengan mata uang lokal yang berada di Jawa dan Sumatera dan ditetapkan berlaku efektif sejak tanggal 30 Maret 1950. Padahal, pada waktu itu mata uang Aceh sudah memiliki rate dan aturan tersendiri, termasuk dinar dan dirham Aceh berbahan emas. Namun, dikarenakan adanya peraturan tersebut, Aceh terpaksa menukar mata uangnya dengan Rupiah milik Republik Indonesia sejak 1 Juni 1950. Dan disinilah awal keterpurukan ekonomi Aceh.

Kembali pada konteks naskah, tahun tersebut geliat pendidikan dan dunia intelektual belum punah, baik dari model pendidikan meunasah, dayah, hingga dayah manyang. Tapi sayang, pada tahun 1953 pemberontakan DI TII Aceh meletus yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Dan banyak penelitian atau ilmuwan (mungkin juga politik) mulai melirik dan "lebih renyah" membahas isu konflik, pemberontakan dan perang di Aceh. Sedangkan dunia pendidikan mulai terpinggirkan. Fenomena yang terjadi 50 tahun silam, sepertinya kini terulang, dunia pendidikan -khususnya agama- bukan sebuah urgenitas dalam jati diri negeri yang melabel dirinya "syariat Islam".

Jadi, hingga saat ini kita belum mendapatkan gambaran format dunia pendidikan berkarakter periode kemerdekaan Indonesia dan Aceh masa dulu, hal yang sama saat ini juga terjadi kita belum menemukan "format" pendidikan untuk Aceh.

Apa hubungannya dengan kitab Alfiyyah ini karangan Syekh Muhammad Ibnu Malik (597-672 H), seorang ulama kelahiran Andalusia dan mengabdikan ilmunya di Damaskus, Syiria, hingga meninggal dunia, adalah ia menjadi inspirator banyak orang setelahnya tentang tehnik dan format belajar grammatikal bahasa Arab lebih mudah dan menyenangkan. 

Teks kitab ini merupakan syarah terhadap matan Alfiyyah yang terdiri dari 1000 bait syair, mengandung pembahasan yang sangat lengkap dan terperinci berkaitan dengan kaidah-kaidah ilmu nahw dan saraf, mulai dari bab kalam, mubtada', khabar, fi'il, isytighal, dan lain-lain. Karangan Alfiyyah Ibn Malik sangat terkenal di wilayah Melayu Nusantara (Indonesia). Bahkan, kitab Alfiyyah dan syarahnya yang dikarang oleh banyak ulama-ulama setelah Ibn Malik –baik muridnya atau ilmuwan lain- dapat diperoleh di Aceh dengan beragam keistimewaannya, sebagaimana naskah ini, yang memiliki ilustrasi di halaman pembuka dengan kekhasan Aceh.

Matan teks naskah ini berbahasa Arab, keistimewaannya dipenuhi dengan syarah (keterangan) di pinggirnya matan dengan beragam posisi dalam bahasa Arab juga, padahal kitab ini disalin oleh “intelektual Aceh/Melayu” di daerah Pidie. Hal ini menunjukkan perkembangan dan kemajuan keilmuan di Pidie dan sekitarnya yang tidak berbeda jauh dengan Banda Aceh sebagai pusat kota Kesultanan Aceh.  Dan tentu mengingatkan kita kepada tokoh sentral abad ke-19 M, Muhammad Khatib Langgin. Namun demikian, kandungan isinya belum dikaji seutuhnya dalam konteks lokal Aceh-Melayu. 

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top