Wednesday, February 27, 2013

Ada dua hal penting terkait Hamzah Fansuri dan karya yang menjadi kajian, atau penelitian, hingga saat ini belum terjawab, pertama biografi Hamzah Fansuri, dan kedua, orisinil dan konstribusi karyanya. Kedua problematika tersebut –belum- mewakili dari teka-teki lainnya yang hingga saat ini menjadi ranah kajian multidisiplin ilmu, sebut saja teolog, arkeolog, sastrawan, sejarawan, dan lainnya.

Riwayat Hamzah Fansuri semakin buram saat dua naskah sejarah, Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin, yang diyakini akurat, ternyata sama sekali tidak mencatat nama Hamzah Fansuri, ini yang menjadi tanda tanya bagi peneliti seperti Van der Tuuk (1877) dan Kraemer (1921). Karenanya, timbullah kubu-kubu yang mengasumsi masa hidup dan kiprah Hamzah Fansuri. Kelompok pertama; Doorenbos (1933), Winstedt (1969), Harun Hadiwijono (1967), dan Ali Hasjmy (1984) menyatakan Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636 M.

Klaim tersebut dibantah oleh Nieuwenhuyze (1945) dan Voorhoeve (1952) yang menyebut ia hidup hingga akhir abad ke-16 M, atau seirama dengan Drewes (1986) bahwa Hamzah meninggal 1590 M. Alasannya, karena ia hanya mengajar ‘Martabat 5’ dantidak mengajari ‘Martabat 7’ dari inti kitab Tuhfah by M Fadhlullah al-Burhanpuri, yang eksis abad ke-17.

Akan tetapi, argument tersebut disanggah oleh kelompok ketiga, Naquib al-Attas (1970), Brakel (1979), dan Braginsky (1992), menurut mereka,

Melacak Naskah Hamzah Fansuri

Read More

Friday, February 22, 2013



Bismillahirahmanirrahim, wabihi nasta’in.
Alhamdulillah ladhi ‘azza sya’nuhu, was-shalatu was-salamu ‘ala Rasulihi waaminihi. Fas-Salamu ‘alaikum warahmatullahi Ta’ala wabarakatuhu ‘ala ad-dawami, serta diiringi pula dengan ‘izzah wa-mahabbah dengan takrim yang tiada berkeputusan selama-lamanya daripada kami Seri Paduka Tuanku Mahmud dan Tuanku Raja Keumala dan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem yang adalah sekarang di Kutaraja Aceh Besar adanya barang disampaikan Allah SWT kehadapan Majelis Hazhratul al-Aziz al-Mukarram punghulu kami Habib Abdurrahman Teupin Wan dan guru kami Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket ibnal-Mukarram Maulana al-Mudabbir al-Malik teungku di Tiro dan Teungku Hasyim dan Teungku di Ulee Tuetue dan Teungku Ibrahim dan sekalian ikutannya yang ada di ahyal khairi di dalam mengerjakan perang Sabilillah di dalam rimba belantara negeri Pidir dengan selamat sejahtera.  Mata’anallah Ta’ala bi-liqa’ihim, Amin.

Syahdan adalah kami ketiganya mengharapkan dengan sehabis-habis harap kepada Allah wa Rasul, dibelakang itu kami harap dengan sehabis-habis harap akan penghulu kami dan akan syaikhuna kami, maka sebab berani harap tawakkal kami beserta dengan yakin tambahan lagi tulus semata-mata kepada guru kami ketiganya oleh karena berkenang kami akan Maulana wa Syaikhuna Mudabbir al-Mulki yang telah ke kubur mengadap [menghadap] ke Rahmatullah Ta’ala, itulah jadinya tiada berkeputusan ingatan kami akan penghulu kami dan akan guru-guru kami.

Maka adapun hal dunia pada zaman ini selama kami meninggalkan guru kami adalah kami bangkit dari negeri Aceh qasadnya membayar fardhu Islam pergi ke tanah Makkah al-Mukarramah, hatta dengan berkat doa-doa guru-guru kami Alhamdulillah sudahlah Allah SWT persempurnakan empat kali  haji, kami ada tinggal di tanah Mekkah beserta di dalam itupun adalah kami ijtihad serta memandang dengan mata kepala sendiri atas tiap-tiap bangsa Islam di dalam zaman ini terlampaulah amat sangat masyaqqah kesukarannya  masing-masing terlebih maklum penghulu kami serta guru-guru kami  sebab dunia ini akhir zaman, bukan seperti dahulu kalanya.

Maka adapun seperti kita-kita semuanya berperang dahulu dengan kompeni Belanda, maka jikalau sudah habis ikhtiar tiada kuasa lagi melawan dia patutlah kita taslim kepadanya oleh karena dianya tiada mengubah dan melarang kita punya agama melainkan kita juga masing-masing yang mengubahnya.
Cobalah penghulu kami serta guru-guru kami pikirkan yang halus tambahan lagi pasal kita taslim kepada musuh apabila tiada kuasa melawan dia, bukanlah sekali-kali kita memulakan isti’adat itu melainkan telah berlaku di atas angin yang terlalu amat abnyaknya, seperti negeri Hindi semuanya Taslim di bawah perintah kompeni Inggris, seperti tanah Magrib semuanya taslim di bawah perintah Prancis, dan seperti tanah Mesir bersyarikat [berserikat] perintahnya dengan Inggris, dan lain-lainnya terlalu amat banyak di atas angin daripada jenis orang Islam mentaslim di bawah perintah musuhnya dan habis kesemuanya sebelah bawah angin taslimnya.

Maka adapun yang pikiran mereka itu berpaka semuanya atas taslim ketika lemah mereka itu, sebab takut mereka itu habis kerusakan agamanya serta negerinya, maka apabila sudah mereka itu taslim jadi mereka itu masing-masing memeliharakan agamanya barang sekuasanya sekedar mungkin supaya tiada hilang semuanya. Demikianlah pikiran mereka yang telah zahir pada pandangan kami.

Maka sekarang Habib yang penghulu kami dan guru-guru kami pada zaman sekarang terlebih baik guru kami dan penghulu kami janganlah duduk di rimba lagi dengan permintaan kami baik Habib turun serta guru-guru kami kemari beserta semuanya mengikut seperti yang telah dijalani oleh orang atas angin  yang terlebih kuasanya dan akal daripada kita beserta jangan sekali-kali ketinggalan barang yang ada alat niscaya supaya jangan jadi fitnah hari kemudian.

Maka yang akan hal dengan kompeni adalah Allah dan Rasul dan adalah kami ketika pertemukan penghulu kami dan guru-guru  kami dengan Paduka Seri Yang Dipertuan Besar Aceh adanya, maka sehabis-habis harap kami sebagaimana pikiran dan tambahnya daripada penghulu kami serta guru kami lazim memberi jawab surat ini dengan segeranya.
Tertulis di Kutaraja, Kampung Kedah pada 18 Rajab 1327 H   (Kamis, 5 August 1909 M)

Melafaz Sarakata Wali Nanggroe

Read More

Saturday, February 02, 2013


Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang tidak kenal Kerajaan Pasai?. Sebuah kerajaan Islam paling awal di Melayu-Nusantara. Tapi, mungkin akan sedikit berbeda jawaban yang kita terima saat disebut, siapa kenal manuskrip Hikayat Raja-raja Pasai?. Disinilah permasalahan dimulai. Sebab, akses untuk membaca kitab asli hikayat tersebut sulit ditemukan, demikian juga hasil alih aksaranya. Seakan-akan ia terkubur bersama para sultan-sultan Pasai di bawah nisan megah nan kronik.
 “Hikayat Raja-Raja Pasai” merupakan karya sastra sejarah yang tertua dari zaman Islam Nusantara. Dalam naskah diceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1250 – 1350 M. Zaman ini adalah masa pemerintahan raja Meurah Silu yang kemudian masuk agama Islam dan mengganti namanya dengan Mâlik al-Shâlih. Hikayat ini merupakan satu-satunya peninggalan sejarah zaman kerajaan Pasai. Naskah selainnya belum pernah ditemukan. Menurut perkiraan Dr. Russel Jones hikayat ini ditulis pada abad ke-14. Hikayat ini mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudera Pasai sampai berperang dengan kerajaan Majapahit.

Dimulai dengan teks yang berbunyi:

Terkuburnya Naskah Hikayat Raja-raja Pasai

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top