Thursday, May 20, 2010

Sejarah Intelektual Islam di Nusantara Sastra Melayu Abad ke 14-19 M

Agama Islam telah muncul di kepulauan Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama ini mulai berkembang dan tersebar luas. Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibn Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah: (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Selain ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada masa itu ialah kesusastraan Arab dan Parsi (Ismail Hamid 1983:2)


Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di kepulauan Nusantara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).

Karya-karya intelektual Muslim awal yang dilahirkan di lingkungan kerajaan

Samudra Pasai ialah saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat yang pertama adalah cerita kepahlawanan (epos) yang didasarkan atas sejarah kepahlawanan Islam pada periode awal penyebaran agama ini. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang-orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).

Adapun Hikayat Budiman, merupakan cerita berbingkai termasuk ke dalam jenis pelipur lara seperti Kisah Seribu Satu Malam. Karya Islam lain yang sangat populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang biasa dinyanyikan secara bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Kitab ini dikarang oleh Syekh al-Busiri, seorang penyair sufi Mesir abad ke-13 M dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-15 M. Dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, sejarawan Muslim abad ke-15 M Zainuddin al-Ma`bari yang pernah berkunjung ke Sumatra mengatakan bahwa para pendakwah Islam menjalankan dakwahnya dengan menuturkan cerita-cerita sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhamad dan hasilnya sangat efektif (Ismail Hamid 1983:27).

Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).

Tetapi disayangkan bahwa naskah-naskah Melayu Islam yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M hampir tidak ada yang sampai kepada kita sekarang Naskah-naskah yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan atau gubahan yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 M, khususnya di kota-kota pesisir di lingkungan kesultanan Aceh seperti Barus, Pasai dan lain-lain. Hanya saja yang jelas, sebagaimana pada zaman Hindu, sastra tampi media utama penyampaian gagasan dan ilmu-ilmu keagamaan. Kecenderungan ini terus melekat dalam perkembangan sastra Melayu hingga abad ke-18 dan 19 M.

Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah, cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipu r lara dan sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim Melayu.

.

Zaman Peralihan

Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M. Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.

Gelombang Pertama yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam. Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.

Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.

Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalah Cerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra dan Hikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.

Sayang sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami perubahan. Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.

Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan

1. Karya sastra, sebagaimana wacana keagamaan dan intelektual lain,

dianggap sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.

2. Wawasan estetika yang dijadikan asaspenciptaan karya sastra didasarkan

atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 13 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin al-Rumi. Mengikuti sistem metafisika sufi, yang membagi alam kewujudan jadi empat, realitas dan tatanan keindahan atau kebenaran yang disajikan dalam karya juga terdiri dari empat lapis yang tersusun secara hirarkis. Empat alam atau tatanan wujud itu dari atas ke bawah ialah Alam Ketuhanan (alam lahut),Alam Keruhanian (alam jabarut), Alam Kejiwaan (alam malakut) dan Alam Jasmani (alam nasut).

3. Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai

Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.

4. Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental (`ishq) seorangsalik (penempuh jalan ruhani) dalam menjumpai Kekasihnya, Yang Satu.

Kesadaran Diri Baru

Akhir masa peralihan sebenarnya tidak dapat diberi batas yang jelas dalam sejarah kesusastraan Melayu Islam, karena karya-karya yang ditulis atau digubah pada abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya, bahkan sampai abad ke-19 M, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, Mandailing dan lain-lain. Tetapi akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.

Mewakili gejala dominan pertama adalah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya pada akhir abad ke-6 dan awal abad ke-17 M. Mewakili gejala kedua ialah Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri, yang muncul secara berurutan pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis, filosofis dan ilmiah. Begitu pula pada masa inilah untuk pertama kalinya dilahirkan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf, yang benar-benar ekspresif dan membangkitkan kesadaran diri baru. Melalui karya-karya para sufi dan ulama Aceh abad ke-17 M inilah Islam dimaklumkan sebagai bagian dari ’diri yang sah’ dan bagian dari ’sejarah Nusantara’ yang sah pula. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).

Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.

Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.

Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Kitabnya Syarab al-Asyiqin oleh al-Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[1]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975)

Syair-syairnya mempunyai beberapa ciri khusus yang dikemudian hari sebagian darinya melekat menjadi ciri umum syair-syair tasawuf Melayu. Di samping syair-syairnya menunjukkan bahwa pada zamannya proses islamisasi kebudayaan Melayu mulai mencapai puncaknya. Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah Fansuri ialah: Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk. Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi. Di citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misal anggur atau arak kemabukan mistik dan gelas anggur; burung (roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk pada persatuan mistik; kekasih, yang lebih sering disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau markab, yang berlayar ke Bandar Tauhid; bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Ka’bah, dan lain sebagainya. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur dirubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur dirubah dengan takir dari daun pisang.

Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya. Tamsil atau citraan-citraan simbolik ini dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman kesufian penyair di sekitar maqam (peringkat rohani) dan ahwal (keadaan rohani) yang dicapai seorang penempuh jalan kerohanian (suluk). Semua itu menunjukkan luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab dan Persia, serta keakraban penyair dengan budaya masyarakatnya.

Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”.

Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fana’ (hapusnya nafsru rendah disebabkan menyatu dengan Kehendak Yang Abadi. Bentuk lain pembebasan jiawa ialah makrifat. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam di manakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu
(Ikat-ikatan XV)

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus
(Ikat-ikatan XXVI)

Dalam syair “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu…” dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman fana’, seperti dikatakannya “Seperti kayu sekalian hangus”. Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh
(Ikat-ikatan XVIII)

Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkaan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyir menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu. Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itulah mahbub yang bernama adil
Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan
Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
Olehnya itu orang terlalai
Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang
Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai
Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk
(Ikat-ikatan II)

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga, alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirnya dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Taj al-Salatin

Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,

Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.

Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya dan kemudian dimasukkan ke dalam penjara; pada waktu itu Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya. Beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. Dalam bukunya Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memerintah sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya.

Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.

Kadang-kadang cerita berperan sebagai pangkal penafsiran teks suci dan memberi pengertian/ makna terhadap pokok yang dibicarakan. Kadang-kadang pada akhir pembicaraan diselipkan puisi, yang merupakan ungkapan ringkas atau kesimpulan mengenai pokok yang dibicarakan. Ada dua asas pokok mendasari kitab ini: (1) Asas usul atau asal-usul pembahasan dan furu’, yaitu cabang-cabang pembahasan; (2) Asas estetik, yaitu penggunaan sarana estetik seperti kisah-kisah dan sajak yang digunakan dalam menjelaskan pokok pembicaraan. Asas estetik ini dibangun dari sebuah titik sentral pembahasan, yaitu masalah keadilan. Dan keadilan dipandang sebagai pintu menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan dalam berpikir atau menggunakan akal.

Buku ini dibagi ke dalam 24 bab.Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.

Menurur Bukhari, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, tetapi dunia memiliki nilai dan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Dunia merupakan tempat ujian di mana amal perbuatan manusia sangat menentukan bagi kehidupannya di akhirat. Hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang dhalim dan tidak adil, karena mereka memiliki kekuasaan yang lebih dibanding orang lain, sehingga leluasa mengatur dan memerintah manusia lain. Raja yang baik dan adil merupakan bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah, bersifat al-rahman dan al-rahim sebagaimana Khaliqnya.

Dalam membicarakan keadilan, Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral, melainkan juga memberinya makna ontologis atau metafisis. Di sini raja yang baik, sebagai Ulil albab. Secara etis seorang ulil albab diartikan sebagai orang yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal, dalam bahasa Arab, dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal ma khalaqa`lLahu’l- `aql. Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan pikiran yang baik ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.;(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

Dalam bab ini Bukhari al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassab, yang ketika ditanya seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan bahwa akal budi merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Persia. Orang berakal budi dan adil diumpamakan sebagai pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak berakal budi adalah sebaliknya, bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada buah, karena itu dijauhi dan tidak disukai orang. Diajuga mengutip Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa akal dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

Kemudian juga dikutip pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa `l-`aql. Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri, menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan pikiran dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang raja yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.

Sedangkan dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. (1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan; (2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat; (3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik; (5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad; (6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan; (7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (8) Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara; (9) Tidak senang bermain perempuan; (10)Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.

Fasal ke-6 dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perrbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Pengarang juga mengutip Hadis yang menyatakan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan seorang raja dan pangkal kebajikan insan. Menurut Kitab al-Khairat al-Mulk: Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik. *Dr. Abdul Hadi W. M.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top