Sunday, May 23, 2010

Hikayat-hikayat Zaman Peralihan Dalam Naskah Kuno

Tidak pelak lagi bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, sastra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra bukan saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.

Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Perlak dan kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad. Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aceh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.


Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Hikayat Nabi-nabi;
  2. Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
  3. Kisah-kisah Para Sahabat Nabi;
  4. Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, termasuk sufi terkemuka, para pendiri tariqat sufi dan lain sebagainya;
  5. Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam;
  6. Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan;
  7. Kisah-kisah Perumpamaan Sufi;
  8. Cerita Berbingkai;
  9. Kisah-kisah Jenaka.
Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.

1. Hikayat Nabi-nabi. Hikayat jenis ini lazim disebut Hikayat Anbiya’ atau Surat Anbiya’.

Termasuk ke dalamnya ialah kisah tentang Nabi Adam, Idris, Nuh, Saleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, Yusuf, Syuaib, Musa, Daud, Sulaiman, Ayub, Yahya dan Isa a.s. Di samping itu terdapat kisah nabi-nabi secara secara perorangan. Yang paling populer di antaranya ialah Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Raja Jumunah (dan Nabi Isa), Hikayat Zakaria, Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Nabi Allah Ayub, Hikayat Nabi Musa Bermunajat, dan lain-lain. Nabi-nabi ini sering muncul sebagai tokoh dalam kisah lain. Misalnya Nabi Sulaiman a.s. dimunculkan sebagai tokoh bayangan dalam kisah binatang (fabel) seperti Cerita Pelanduk Jenaka.

Versi Melayu dari kisah para nabi itu digubah berdasarkan sumber Arab dan Parsi seperti Kitab al-Mubtada wa Qisas al-Anbiya’ (Buku tentang Kejadian Alam dan Cerita Para Nabi) karangan Wahb ibn Munabba (w. 730 M), Ara`is al-Majalis: Qisas al-`Anbiya’ (Para Pengantin dalam Majlis: Kisah Para Nabi) karangan Tha`labi (abad ke-10 M), dan Qisas al-`Anbya’ karangan Ibn Khalaf dari Nisyapur, Iran (Ismail Hamid 1983:19). Di Perpustakaan Nasional Jakarta terdapat dua belas versi dari hikayat ini. Di antaranya yang digubah oleh Ahmad bin Muhammad al-Syilabisi (dari Sulawesi), Encik Husein dari Bugis dan Muhammad Syam dari Lingga, Riau. Pada pendahuluan kitab ini dipaparkan kisah permulaan kejadian alam semesta yang diawali dengan kejadian Nur Muhammad. Sejarah kejadian manusia, menurut penulis kitab ini, tidak dimulai dari munculnya Adam, tetapi dari kejadian Nur Muhammad di alam ketuhanan.

2. Kisah-kisah berkenaan dengan riwayat dan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w.

Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Putri Salamah (yang mendapat pelajaran dari Nabi, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis. Melalui kisah-kisah ini pengarang menyampaikan ajaran Islam. Dalam Hikayat Putri Salamah misalnya Nabi mengajarkan bagaimana tugas seorang istri dalam Islam.

Dalam Hikayat Nur Muhamad atau Hikayat Kejadian Nur Muhamad dikisahkan bahwa sebelum menciptakan segala sesuatu di dalam semesta Tuhan menjadikan Nur Muhamad terlebih dahulu sebagai asas kejadian. Nur Muhamad, yang artinya ialah cahaya yang tepuji, merupakan konsep sufi tentang unsur ruhani segala ciptaan, khususnya manusia, yang digambarkan sebagai cahaya terpuji yang berkilau-kilauan. Konsep ini dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhammad, yang akhlaq dan pengetahuannya terpuji serta menerangi alam semesta.

Sebutan Nur Muhamad diperkenalkan mula-mula pada abad ke-9 oleh Ibn Ishaq, penulis riwayat Nabi Muhamad paling awal. Pada abad ke-10 M konsep itu dipopulerkan oleh sufi terkemuka Sahl al-Tustari. Konsep nur dirujuk pada hadis qudsi dan surah al-Nur al-Qur’an. Dalam versi Melayu hikayat ini sering dimasukkan sebagai pendahuluan karya bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatin karangan Nuruddin al-Raniri, Hikayat Anbiya’ dan Tambo Minangkabau.Versi terkenal dari hikayat ini ialah gubahan Ahmad Syamsudin dari Aceh pada tahun 1646 M dengan judul Tarikh Mukhtasar (Ringkasan Sejarah), yang disadur dari naskah Parsi Rawdat al-Anbah (Syurga Para Kekasih) karangan Husaini pada tahun 1495 M. Salinan terbaru ialah karangan Ki Agus Haji Khatib Thaha dari Palembang yang ditulis pada tahun 1856. Dalam bentuk puisi, hikayat ini muncul dalam syair-syair tasawuf karangan Hamzah Fansuri pada abad ke-16 M.

Hikayat berkenaan dengan Nabi Muhamad yang juga tidak kalah penting ialah Hikayat Seribu Masalah yang memaparkan masalah eskatologi Islam, yang diuraikan melalui berbagai perumpamaan. Salah satu versi terkenal ialah yang ditulis di Aceh pada akhir abad ke-17 M berdasarkan versi Arab Masa`il Abdullah bin Salam li Nabiyyin (Pertanyaan-pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Junjungan Nabi kita). Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah), seorang pemimpin Yahudi bernama Abdullah bin Salam menyatakan akan memeluk agama Islam bersana 700 pengikutnya apabila Nabi dapat menjawab berbagai pertanyaan. Abdullah bin Salam kemudian menanyakan soal-soal di sekitar kejadian alam, kehidupan di akhirat, syurga dan neraka, pahala dan siksaan. Nabi menjawab semua persoalan itu dengan memuaskan (Edwar Djamaris 1982).

3. Kisah Para Sahabat.

Menceritakan kehidupan dan perjuangan para sahabat Nabi Muhamad yang muncul sebagai tokoh penting Islam setelah Nabi. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Abu Bakar, Hikayat Amir al-Mu`minin Umar, Hikayat Sayidina Ali, Hikayat Usman bin Affan, Hikayat Abu Syamah, Hikayat Abu Bakar dan Rahib Yahudi,Hikayat Ali Kawin, Hikayat Raja Handak, Hikayat Hasan dan Husein, Hikayat Salman al-Farsi, Hikayat Tamim al-Dari dan lain-lain. Hikayat para sahabat ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Misalnya Hikayat Abu Bakar yang menceritakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam yang jarang diketahui umum. “Diceritakan setelah Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, seorang tokoh bernama Marwan dipecat dari jabatannya karena didapatkan menyebarkan fitnah. Setelah beliau wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Dalam masa pemerintahannya terjadi peperangan hebat antara tentara Islam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib melawan tentara Khusraw dari kemaharajaan Parsi di bawah pimpinan Rustam. Dalam peperangan tersebut kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Putri Maharaja Khusraw Syahrbanu kawin dengan Husein bin Ali dan Nurbayan kawin dengan Muhamad bin Abu Bakar”.

Hikayat Abu Syamah menceritakan keadilan Umar bin Khattab sebagai khalifah. “Diceritakan Abu Syamah putra Umar bin Khattab sakit parah sekembalinya dari medan perang di Khalwan. Setelah sembuh dari sakitnya ia berjalan-jalan mengitari kota Madinah untuk menghirup udara. Seorang Yahudi yang mengetahui keadaan Abu Syamah menemuinya dan menawarkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Abu Syamah menerima tawaran itu dan pergi ke rumah orang Yahudi itu. Di rumah orang Yahudi itu dia diberi minuman keras yang dikatakan sebagai obat, sehingga ia mabuk. Dalam keadaan mabuk Abu Syamah menggauli anak gadis orang Yahudi itu sehingga hamil. Orang Yahudi mengadu kepada Umar tentang perbuatan anaknya. Abu Syamah dihukum rajam sampai mati”.

4. Hikayat Para Wali.

Di antaranya yang masyhur ialah Hikayat Rabiah al-Adawiyah, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syekh Naqsabandi dan lain-lain.

5. Hikayat Pahlawan atau Epos.

Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Malik Saiful Lizan, Hikayat Saif bin Dhi Yazan, Hikayat Semaun dan lain-lain. Para pahlawan Islam ini diperkenalkan agar sejarah perjuangan kaum Muslimin di negeri Arab dan Parsi tidak asing dan menjadi bagian dari sejarah kaum Muslimin secara keseluruhan. Tokoh Hikayat Iskandar Zulkarnain didasarkan atas legenda Iskandar Agung dari Macedonia yang telah menaklukkan banyak negeri dari Balkan hingga India. Penulis Muslim menghubungkan kisah raja ini dengan kisah Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam al-Qur’an. Winstedt (1938) mengemukakan bahwa sastrawan Arab yang mencampurkan legenda Iskandar Agung dan Iskandar Zulkarnain ialah Umara. Versi Arab dari kisah ini ialah karangan Mubasyir (1503), tetapi versi Melayu digubah berdasarkan hikayat yang ada dalam sastra Parsi, yaitu Iskandar-namah karangan Nizami al-Ganjawi, penulis Iran abad ke-12 M.

Di samping Hikayat Iskandar Zulkarnain, dua hikayat lain yang populer ialah Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah. Hikayat Amir Hamzah sangat populer di kalangan masyarakat Muslim hingga awal abad ke-20 Berbagai versinya dijumpai dalam sastra Melayu, Jawa, Madura, Sunda dan lain-lain. Versi cerita ini seperti yang dikenal hingga sekarang memang berasal dari sastra Parsi, bahkan versinya dalam bahasa Arab juga disalin dan disadur dari naskah Parsi. Versi-versi yang tertulis dalam bahasa Parsi antara lain Dastani Amir Hamzah, Qissah Amir Hamzah dan Asmar Hamzah. Sumber ilham cerita ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad s.a. w., lahir pada tahun 569 M. Pada awalnya Hamzah menentang ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penganut yang taat dan gigih memperjuangkan kebenaran risalah agama ini. Dalam Perang Uhud melawan pasukan Quraysh, Hamzah mati syahid. Kisah kepahlawanannya hidup terus dalam jiwa kaum Muslimin dan banyak kisah ditulis mengenai dirinya. Tetapi kemudian di Parsi kisahnya dicampur aduk dengan pahlawan lain yang juga bernama Hamzah bin Abdullah, yang hidup pada zaman Abbasiyah. Ketokohan Hamzah bin Abdullah sangat diagungkan oleh orang Parsi, yang berjuang menentang pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (Ismail Hamid 1983:76-7).

Sinopsis cerita: ”Setelah Amir Hamzah masuk Islam, keberaniannya segera diketahui oleh kaum Muslimin. Beliau dipilih menjadi kepala pasukan tentara untuk menaklukkan Yaman. Maharaja Nusyirwan dari negeri Parsi mendengar berita kepahlawanan Amir Hamzah ini. Dia diundang ke istananya di Madain. Di sana Amir Hamzah jatuh cinta kepada putri Muhrnigar. Bakhtik, wazir maharaja Nusyirwan sangat benci pada orang Arab. Dia merancang pembunuhan terhadap Amir Hamzah, yaitu dengan memberi syarat bahwa Amir Hamzah dapat menikahi sang putri apabila sanggup pergi ke Mesir, Rum dan Yunani untuk mengumpulkan upeti. Amir Hamzah menyanggupi syarat tersebut. Dia berangkat ke Mesir. Namun malang, di sana dia ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi karena kelihaiannya, Amir Hamzah bisa melarikan diri dari penjara, kemudian mengembara ke berbagai negeri, terutama Asia Tengah. Setelah pulang dari pengembaraan, oleh maharaja Nusyirwan dia diperbolehkan menikah dengan putri Muhrnigar. Bakhtik tetap benci pada Amir Hamzah dan berusaha mengalahkannya. Mata Amir Hamzah dibuat buta. Tetapi Nabi Khaidir berhasil memulihkan penglihatan Amir Hamzah. Pada akhir cerita Bakhtik dibunuh oleh tokoh bernama Umar Umayyah. Setelah peristiwa itu Amir Hamzah memimpin pasukan memerangi raja-raja kafir dan menyebarkan agama Islam. Tetapi malang sekali, Amir Hamzah akhirnya gugur ketika berperang dengan Raja Lahad.”

Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Meskipun hikayat ini ditulis berdasarkan sumber Arab, tetapi dikembangkan menjadi sebuah hikayat oleh penulis-penulis Parsi pada abad ke-14 M. Dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniyah, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliran Imam Duabelas (Imamiyah), Imam Tujuh (Ismailiyah), Imam Lima (Zaidiyah) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniya menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanaf dan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.

Dalam sastra Melayu hikayat ini telah dikenal sejak akhir abad ke-15 M dan digubah berdasarkan sumber Parsi yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 (Brakel 1975:5). Ringkasan ceritanya sebagai berikut: ”Ketika Ali dipilih menjadi khalifah ke-4 setelah terbunuhnya Usman bin Affan, Mu’awiya – keponakan Usman yang menjabat sebagai gubernur Damaskus – menentang keputusan itu. Dia merancang untuk membunuh Ali. Perang berkobar antara pengikut Ali dan Mu’awiyah. Keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan dalam pertempuran yang menentukan pasukan Ali berada di atas angin. Tetapi melalui cara yang licik, Mu’awiyah menawarkan perundingan. Dalam perundingan diputuskan untuk mengadakan tahkim, yaitu melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh beberapa hakim yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjabat khalifah dan sejak itu resmilah Dinasti Umayyah memerintah kekhalifatan Islam. Pemerintahan Umayyah berlangsung antara tahun 662 hingga 749 M. Tidak lama setelah itu Ali dibunuh di Kufa dan para pengikutnya terus melancarkan berbagai pembrontakan terhadap Umayyah. Pada masa pemerintahan Yazid, pengganti Mu’awiyah, timbul pula pembrontakan yang menewaskan Hasan dan Husein. Muhammad Hanafiyah bangkit dan mengumpulkan pasukan, kemudian melancarkan peperangan menentang Yazid. Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid terbunuh secara mengerikan, yaitu jatuh ke dalam danau yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiyah menobatkan putra Husain, Zainal Abidin menjabat sebagai imam.

Ketika itu dia mendengar kabar bahwa bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam sebuah gua. Dia pun pergi ke tempat itu untuk memerangi mereka. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia mendengar suara ghaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk ke dalam gua. Tetapi dia tidak menghiraukan seruan itu. Dia terus saja membunuh musuh-musuhnya. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”

6. Hikayat bangsawan Islam.

Biasanya berbentuk kisah petualangan bercampur percintaan, dan sebagian besar termasuk ke dalam jenis pelipur lara. Namun demikian unsur didaktiknya cukup dominan. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Jauhar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Umar Umayah, Hikayat Raja Khaibar,Hikayat Ahmad Muhammad, Hikayat Siti Hasnah, Hikayat Siti Zubaidah Perang Dengan Cina dan lain-lain. Sebagian dari hikayat-hikayat ini dikembangkan dari kisah-kisah yang terdapat dari cerita berbingkai dan sebagian lagi dikembangkan menjadi alegori sufi. Pada umumnya cerita dalam kisah-kisah ini bermain di wilayah Tiimur Tengah, Asia Barat, Parsi dan India. Nama tempat yang memang ada dalam sejarah seperti Baghdad, Madain dan Turkistan. Tetapi juga terdapat juga nama-nama rekaan bercorak Arab dan Parsi seperti Syarqastan, Sanjatan, Malik al-Ghuyur dan lain sebagainya.

Melengkapi hikayat bercorak Parsi muncul pula hikayat-hikayat yang mengandung baik unsur Hindu maupun Islam seperti Hikayat Jaya Langkara, Hikayat Gul Bakawali, Hikayat Si Miskin, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Berma Syahdan, Hikayah Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Tokoh-tokoh dalam hikayat ini adalah pahlawan tempatan dan lingkungan terjadinya cerita juga di bumi Melayu, kecuali Hikayat Gul Bakawali. Meskipun digubah dari cerita yang sudah ada pada zaman Hindu, namun unsur Islam dari hikayat ini sangat jelas.

Misalnya seperti terlihat pada Hikayat Inderaputra. Dalam hikayat ini unsur Islam tampak pada hal-hal seperti berikut:
  1. Diceritakan ketika berusia tujuh tahun Inderaputra sudah fasih membaca al-Qur’an;
  2. Beberapa naskah hikayat ini dimulai dengan Basmallah;
  3. Dalam pengembarannya Inderaputra selalu mengingat keagungan Allah s.w.t., bahkan selalu berdoa dan berzikir;
  4. Ia hanya beristri empat orang;
  5. Ayahnya Raja Bikrama salat dan berdoa di masjid ketika mengetahui bahwa anaknya hilang (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad 1993:160).

7. Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi.

Sebagian dari alegori sufi digubah berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Dalam sastra Jawa contoh terbaik ialah Cerita Dewa Ruci. Adapun alegori yang disadur dari sumber sastra Parsi ialah Hikayat Burung Pingai, Hikayat Perkataan Alif dan lain-lain. Yang terkenal ialah Hikayat Burung Pingai yang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini..

Dalam Mantiq al-Tayr diceritakan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin atau raja. Burung Hud-hud tampil ke depan bahwa raja para burung sekarang ini berada di puncak gunung Qaf, namanya Si-murgh. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, kata Hud-hud, burung-burung harus terbang bersama-sama mencari raja diraja mereka. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu:
(1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana’, baqa’ dan faqir.

Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Burung Bul-bul sudah terlanjur lengket cintanya pada bunga mawar, sehingga menganggap perjalanan itu tidak perlu dilakukan. Elang sudah merasa puas dengan kedudukannya sebagai raja budak duniawi. Kutilang merasa lemah dan tidak berdaya. Merak sudah merasa enak tinggal di taman yang indah. Hud-hud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan.

Baru setelah itu burung-burung itu bersedia melakukan penerbangan yang jauh dan sukar. Ternyata yang sampai di tujuan hanya 30 ekor burung. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh. Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972).

Dalam tradisi sastra sufi, burung digunakan sebagai tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan merindukan Tuhan, asal usul keruhaniannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan – yang walaupun kelihatannya jauh letaknya, namun sebenarnya lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubah sesuai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh.

Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri menulis syair-syair menggunakan lambang burung, seperti terlihat dalam ”Syair Tayr al`Uryan Unggas Sultani”. Dalam risalah tasalnya al-Muntahi, Hamzah Fansuri mengutip bait-bait matsnawi `Attar dari bukunya itu:

Baz ba’di dar tamasha-tarab
Tan faru daland farigh as talab
(Braginsky 1993:136)

Terjemahannya lebih kurang: ”Ada yang hanya bertamasya dan bersukaria; Begitu bersemangat mereka hingga berhenti (yakni, tidak lagi mencari Simurgh, pen.). Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut: ”Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain.

Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjawab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh (sebagaimana tujuh lembah keruhanian dalam Mantiq al-Tayr). Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli. Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masing-masing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengutip Hadis qudsi, ’Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya’. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri” (Braginsky 1993:141).

Demikian penggantian tokoh Hud-hud dengan burung Nuri mempunyai alasan. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidakhadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman.

8. Cerita Berbingkai.

Cerita semacam ini sangat digemari pembaca, sehingga versi dari masing-masing cerita banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak termasuk fabel. Yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman. Yang tidak termasuk fabel ialah Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Selain sebagai sarana pengajaran, hikayat-hikayat ini berperan sebagai pelipur lara. Cerita berbingkai dan fabel memang berasal dari kesusastraan Sansekerta. Melalui kesusastraan Parsi kisah-kisah semacam itu sampai ke dalam buaian peradaban Islam dan dikembangkan lebih jauh hingga mencapai bentuknya yang lebih sempurna dan mempesona. Para sastrawan Muslim juga meningkatkan bobot cerita-cerita ini, dengan memberinya kandungan falsafah moral, spiritualitas dan pesan kemanusiaan yang universal.

Yang paling populer dari hikayat-hikayat tersebut ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Judul asli hikayat ini ialah Alfa Layla wa Layla, dan di Eropah dikenal dengan judul Arabian Nights. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas seperti Hikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu yang dijumpai ialah salinan awal abad ke-18 M. Pada tahun 1895 untuk kesekian kalinya hikayat ini diterjemahkan kembali dari salah satu versi Arab abad ke-15 oleh Datuk Mahakurnia Alang Ahmad dari Perak (Ismail Hamid 1983:123).

9. Kisah Jenaka.

Kisah jenaka yang populer ialah serial Hikayat Abu Nawas dan Hikayat Umar Umayya. Berdasarkan model ini kemudian muncul kisah-kisah jenaka dengan menggunakan tokoh tempatan seperti Pak Belalang (Melayu), Si Kabayan (Sunda), Modin Karok (Madura) dan lain-lain. Termasuk kisah jenaka dan sekaligus fabel ialah Kisah Pelanduk Jenaka.

Berbagai naskah dan manuskrip yang disebut diatas, masih banyak naskah-naskah ersi nusantara yang bernuansa islam dan lokal belum tersentuh oleh para filolog, tugas berat menanti para ilmuwan filologi untuk terus menggali dan mendalami kekayaan khazanah naskah untuk negeri ini.

1 comments:

Anonymous said...

Salam kenal, pak. Terima kasih bnyak atas sharing ilmunya.
Saya sangat tertarik dgn beberapa naskah yang bapak sebutkan. Kebetulan saya sedang akan menyusun tesis, sedang mencari-cari manuskrip untuk diteliti.
Semoga saya bisa belajar dan berdiskusi lbh lanjut dgn bapak.

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top